Pihak Rektor Universitas Pancasila Singgung Pemilihan Rektor di Tengah Laporan Dugaan Pelecehan Seksual
Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hedratno (dok https://univpancasila.ac.id)

Bagikan:

JAKARTA - Rektor Universitas Pancasila (UP) Jakarta Edie Toet Hendratno (ETH) melalui kuasa hukumnya menegaskan tidak benar kliennya melakukan pelecehan seksual terhadap dua pegawai kampus UP.

Kuasa hukum Edie, Raden Nanda Setiawan mengklaim pelaporan itu strategi untuk menjatuhkan nama kliennya di tengah proses pemilihan rektor baru.

“Pelecehan seksual yang terjadi satu tahun lalu, terlalu janggal jika baru dilaporkan pada saat ini dalam proses pemilihan rektor baru,” kata Nanda saat dikonfirmasi, Minggu, 25 Februari.

Dua pegawai UP berinisial RZ dan DF melaporkan Edie masing-masing ke Polda Metro Jaya pada Jumat 12 Januari 2024 dan Bereskrim Polri tertanggal 29 Januari 2024. Keduanya menuding Edie telah melakukan pelecehan seksual dalam waktu yang berbeda.

Sedangkan proses pemilihan rektor baru di UP saat ini masih terus berjalan sampai awal Maret 2024.

“Saya tidak tau pasti tanggal mulainya namun sampai awal bulan Maret kalau tidak salah,” ucapnya.

Dugaan Pelecehan Rektor Universitas Pancasila

Rektor Universitas Pancasila inisial ETH diduga melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan RZ selaku Kabag Humas dan Ventura Universitas Pancasila pada Februari 2023. Dugaan itu kemudian dilaporkan RZ ke polisi pada Januari 2024.

Kuasa hukum kedua korban Amanda Manthovani menjelaskan dugaan pelecehan seksual terhadap RZ terjadi di ruang rektor selaku terlapor.

"Nah pukul 13.00 WIB dia menghadap ke rektor, dia ketuk-ketuk. Pas dia buka pintu rektornya sedang duduk di kursi kerjanya rektor. Di seberang kursi atau meja kerja rektor itu banyak kursi-kursi agak jauh posisinya," kata Amanda saat dihubungi wartawan, Minggu 25 Februari.

Saat itu korban mencari tempat di kursi yang agak panjang dan mengambil posisi duduk yang agak jauh. Saat itu, rektor memberikan perintah-perintah mengenai masalah pekerjaan.

"Dia nulis-nulis, dia bawa buku. Tiba-tiba pelan-pelan si rektornya tahu-tahunya sudah duduk satu bangku sama dia (korban), posisinya mendekat," ucapnya.

Selanjutnya tidak lama kemudian, saat korban tengah duduk sambil mencatat, Amanda mengatakan tiba-tiba korban dicium oleh rektor di bagian pipi. Saat itu korban langsung kaget dan ketakutan.

"Nah langsung dia, 'saya langsung berdiri mba, saya kaget dan saya sebenarnya pengennya, ingin saya ngamuk, ingin mukul, tetapi saya masih sadar dan saya langsung ketakutan'. Dia langsung buru-buru pengen keluar," tutur Amanda.

Tidak hanya itu, ketika korban ingin cepat-cepat keluar dan ketika sebelum keluar sang rektor dengan bahasa baik dan lembut meminta pertolongan kepada korban untuk melihat mata rektor apakah merah atau tidak.

Kemudian korban mengatakan mata rektor tidak merah. Akan tetapi, rektor meminta untuk meneteskan obat mata sebelum keluar ruangan.

"Dia ngambil obat tetes tuh. Dia menuju tasnya, tasnya rektor diambil, 'tetesin saya dulu, baru keluar' intinya gitu lah. Nah terus posisi rektor itu duduk karena sudah kejadian tadi dicium dia tidak berani dekat-dekat," imbuhnya.

Sehingga saat itu, rektor dalam posisi duduk dan korban berdiri di samping kanan rektor dengan jarak agak jauh badannya membungkuk meneteskan obat mata.

“Namun, secara tiba-tiba tangan kanannya prof itu (rektor) meremas payudaranya dia. Begitu. Seperti itu, menurut keterangannya korban begitu ceritanya," ujar Amanda.

Lebih lanjut, Amanda menuturkan korban lain dalam dugaan pelecehan seksual oleh rektor ini adalah DF yang ketika kejadian menjabat honorer. Dia bilang, DF mengalami trauma berat akibat peristiwa yang dialaminya.

“Hampir sama sih kejadiannya cuma memang dicium tapi posisinya itu mukanya DF itu dipegangin, terus diciumin,” tandasnya.