Gerindra: Kalau Presiden Tak Boleh Dukung Capres, Itu Narasi Sesat
Wakil Ketua Komisi III DPR Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 12 Juni 2023. (Antara-Melalusa S K)

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran Habiburokhman menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentunya boleh secara terang-terangan mendukung dan memihak salah satu calon presiden (capres) dalam Pilpres 2024.

Menurutnya, presiden tidak boleh memihak salah satu capres merupakan narasi sesat.

"Narasi tersebut adalah narasi sesat. Karena secara prinsip dan etik tidak ada yang salah juga, tidak ada satu ketentuan hukum pun yang dilanggar, kalau Pak Jokowi mendukung salah satu calon dalam pilpres," ujar Habiburokhman kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 24 Januari.

Habiburokhman lantas menjelaskan, dalam Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 diatur bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Termasuk Presiden RI.

Menurut Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra itu, ketentuan telah mengatur presiden maksimal menjabat selama dua periode dan boleh berpihak sekaligus berkampanye untuk peserta pilpres.

"Narasi sesat dibangun berdasarkan logika yang sesat, bahwa jika Presiden tidak boleh berpihak karena bisa menggunakan kekuasan untuk menguntungkan pihak yang didukung. Logika tersebut runtuh sejak awal karena Pasal 7 konstitusi kitab, bahkan mengatur seorang presiden bisa maju kedua kalinya dan tetap menjabat sebagai Presiden incumbent," tuturnya.

Dia pun mencontohkan, pada Pemilu 2008 di AS, Presiden George W Bush mendukung John McCain melawan Barrack Obama. Lalu pada Pemilu 2016 giliran Obama mendukung Hillary Clinton yang bertarung melawan Donald Trump.

"Praktek yang sama juga dilakukan di Amerika Serikat, seorang Presiden incumbent boleh mendukung dan bahkan berkampanye untuk salah satu calon Presiden periode berikutnya," katanya.

"Negara kita sudah punya aturan yang ketat untuk mencegah presiden menggunakan kekuasaan untuk menguntungkan dirinya atau calon yang dia dukung," sambung Habiburokhman.

Ketentuan tersebut, lanjut dia, diatur dalam Pasal 306 UU Nomor 7 tahun 2017. Di mana secara umum mengatur bahwa pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Serta Pasal 547 yang mengatur setiap pejabat negara yang membuat kebijakan, yang merugikan atau menguntungkan salah satu pasangan calon diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun.

"Untuk menegakkan aturan tersebut, kita punya penyelenggara pemilu di bidang pengawasan yakni Bawaslu, untuk mengawasi kinerja Bawaslu kita punya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)," jelasnya.

"Intinya kita tidak perlu khawatir apabila presiden menggunakan haknya untuk mendukung salah satu paslon karena ada aturan berlapis yang jelas. Dan ada lembaga penegak hukum yang jelas untuk memastikan tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," sambung Habiburokhman.