Bagikan:

JAKARTA - Seorang gadis remaja berinisial NF (15) sedang menjadi sorotan banyak pihak karena terlibat aksi pembunuhan terhadap APA (5). Aksi pembunuhan itu lantaran terinspirasi film berunsur kekerasan dan mengidolakan salah satu tokoh fiksi Slenderman.

Pembunuhan ini dilakukan NF dengan cara menenggelamkan APA di bak mandi. Kemudian, ia menaruh jasad korban yang merupakan tetangganya itu di dalam lemari, Kamis, 5 Maret. Namun, sehari usai membunuh, remaja ini pun menyerahkan diri ke pihak kepolisian.

Petugas polisi yang pertama kali mendengarkan pengakuan NF, sempat mengira jika remaja itu hanya bergurau. Akan tetapi, setelah diselidiki lebih jauh dengan mendatangi rumahnya yang beralamat di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, ternyata pengakuan gadis tersebut benar adanya.

Dengan adanya perkara pembunuhan itu, penyidik dari unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) segera mendalami keterangan NF. Pemeriksaan sementara, remaja ini merasa puas dan tak menyesal setelah membunuh tetangganya itu. Padahal, tak ada permasalahan yang menjadi awal mulai atau alasan sehingga NF nekat menghabisi nyawa APA.

Polisi pun membawa NF ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati untuk diperiksa dari sisi psikologi. Ada dugaan, remaja ini mengalami gangguan kejiwaannya berdasarkan ciri-ciri yang ditunjukan NF pada saat pemeriksaan.

Psikolog Universitas Indonesia, Kasandara Putranto mengatakan, film atau konten apapun bisa memengaruhi seseorang berbuat sesuatu hal di luar logika. Namun, bukan berarti hal tersebut menjadi penyebab utamanya karena perlu wawancara mendalam untuk membuktikannya.

"Semua konten film, gambar, lagu dan game berpotensi memberikan pengaruh atau pemicu. Tetapi penyebab bukan itu," ucap Kasandra, Senin, 9 Maret.

Karena itu, hasil pemeriksaan dari Rumah Sakit Polri Kramat Jati terhadap NF akan berpengaruh pada proses pidananya. Ketika gadis ini terbukti mengalami gangguan kejiwaan, secara otomatis jerat pidana akan gugur.

Kriminolog Universitas Indonesia Ferdinand Andi Lolo menambahkan, polisi mesti berhati-hati dalam menangani perkara ini. Alasannya, penyidik harus memastikan apakah pelaku benar-benar tidak bisa mempertanggungjawabkan tindakannya secara karena masalah mental atau sebaliknya.

"Harus dipastikan dulu, dia (NF) pada saat itu secara mental atau kejiwaan mampu bertanggungjawab. Kalau dia mampu, bagaimana cara menanganinya karena dia kan anak, mesti ada perlakuan khusus," kata Ferdinand.

Jika tak bisa mempertanggungjawabkan tindakannya atau terbutki menderita gangguan kejiwaan, maka, rehabilitasi atau pengobatan menjadi satu-satunya cara yang harus dilakukan. Hal itu pun sesuai dengan Pasal 44 ayat 1 KUHP yang berisi tentang "Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal"

Ferdinand menambahkan, dalam pengobatan atau rehabilitasi, NF harus dilakukan pemantauan untuk memastikan tidak lagi terjadi perkara serupa atau terulang.

Sementara itu, Komisioner Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina menyoroti tentang fasilitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak yang umumnya disediakan untuk laki-laki. Sementara, anak perempuan yang menjadi pelaku kejahatan, ditempatkan di tahanan dengan narapidana dewasa.

Pola seperti ini dianggap memberikan dampak negatif terhadap NF yang merupakan anak. Pola seperti ini ditakutkan akan membuat hasrat pidana NF muncul dan tak akan hilang.

"Ya, ketakutan akan muncul. Artinya begini, ketika dia divonis dengan hukuman maksimal apapun itu, tapi sesudah itu setelah keluar dari penjara, bagaimana tindak lanjutnya? Siapa yang mengawasi? Hasrat membunuh tadi muncul. Kalau muncul pasti masyarakat sekitar pun akan jadi ancaman dong," papar Puput.

Konferensi pers dari KPAI tentang kasus NF (Rizky Adytia Pramana/VOI)