Hari Pertama Sidang Genosida Gaza di Mahkamah Internasional, Afrika Selatan Nilai Israel Lewati Batas
Sidang hari pertama kasus genosida Gaza di ICJ. (Tangkapan layar YouTube Channel SABC News)

Bagikan:

JAKARTA - Afrika Selatan menilai Israel telah melewati batas dalam tindakannya di Gaza, usai serangan kelompok Hamas ke wilayah selatan negara itu pada Bulan Oktober, hal yang dikutuk oleh Afrika Selatan, kata Menteri Kehakiman negara itu pada hari pertama sidang kasus genosida oleh Israel di Mahkamah Internasional (International Court of Justice).

Sidang yang berlangsung di mahkamah yang terletak di Hague, Belanda ini mengagendakan pembacaan uraian kasusnya pada hari pertama, Kamis ini. Sementara, besok (Jumat) Israel akan melakukan pembelaan.

Sebanyak 15 hakim, ditambah dua hakim ad hoc terlibat dalam persidangan kali ini. Presiden Hakim ICJ Joan Donoghue memperkenalkan dua hakim ad hoc yang mewakili masing-masing pihak, yakni mantan presiden Mahkamah Agung Israel Aharon Barak dan mantan Wakil Ketua Hakim Afrika Selatan Dikgang Moseneke, dikutip The Times of Israel 11 Januari.

Usai pengambilan sumpah kedua hakim ad hoc, Donoghue membacakan tuduhan yang dibuat oleh Afrika Selatan dalam penerapannya oleh Israel berdasarkan Konvensi Genosida.

Panitera pengadilan kemudian membacakan langkah-langkah sementara yang diminta Afrika Selatan agar diperintahkan pengadilan untuk dilakukan Israel, termasuk memerintahkan negara tersebut untuk "tidak mengambil langkah apa pun untuk melanjutkan operasi militernya" dan "berhenti melakukan tindakan apa pun yang berada di bawah Pasal II konvensi genosida."

Menteri Kehakiman Ronald Lamola yang memimpin delegasi Afrika Selatan mengatakan, warga Palestina telah menderita di tangan Israel sejak tahun 1948.

militer israel
Tentara Israel dalam operasi darat di Gaza. (Sumber: Israel Defense Forces)

"Kekerasan dan kehancuran di Palestina tidak dimulai pada tanggal 7 Oktober, mereka telah mengalami kekerasan selama 76 tahun terakhir," kata Lamola.

"Di Jalur Gaza sejak tahun 2004 Israel melakukan kontrol atas penyeberangan darat, infrastruktur sipil. Masuk dan keluar ke Gaza dilarang keras, dan Israel merupakan satu-satunya pintu masuk,” katanya. Namun, sebagai daerah kantong juga berbagi jalur darat dengan Mesir," jelasnya.

"Gaza masih dianggap berada di bawah pendudukan menurut hukum internasional," sebut Lamola.

Mengatakan negaranya mengutuk serangan terhadap wilayah selatan Israel, namun, Lamola mengatakan pelanggaran terhadap konvensi tidak dapat dibenarkan.

"Afrika Selatan secara sepihak mengutuk penargetan warga sipil oleh Hamas dan penyanderaan pada 7 Oktober 2023. Meskipun demikian, tidak ada serangan, betapapun seriusnya, yang dapat membenarkan pelanggaran terhadap konvensi baik secara hukum maupun moralitas," urainya.

"Israel telah melewati batas ini, dan melanggar konvensi (genosida). Inilah sebabnya Afrika Selatan mengajukan kasus ini," tandasnya.

Sementara itu, Adila Hassim, salah satu aktivis yang mewakili Afrika Selatan, mengatakan "tindakan Israel menunjukkan pola perilaku sistematis yang dapat disimpulkan sebagai genosida," seperti dikutip dari CNN.

Dalam pengajuan setebal 84 halaman ke ICJ, Afrika Selatan mengutip bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Israel melakukan genosida dengan membunuh warga Palestina di Gaza, menyebabkan penderitaan mental dan fisik yang serius, evakuasi paksa, kelaparan yang meluas, dan dengan menciptakan kondisi yang "diperkirakan akan membawa dampak buruk bagi mereka."

Hassim membahas beberapa bukti yang diajukan Afrika Selatan dalam pengajuannya, termasuk serangan udara Israel di Gaza.

Dia mengatakan warga Palestina di Gaza "terbunuh jika mereka gagal mengungsi, di tempat mereka melarikan diri, dan bahkan ketika mereka berusaha melarikan diri melalui rute aman yang dinyatakan Israel."

gaza
Warga Gaza di tenda pengungsian. (Twitter/@UNHumanRights)

Tingkat pembunuhan yang dilakukan Israel begitu besar sehingga tidak ada tempat yang aman di Gaza, katanya, seraya menambahkan kehancuran yang terjadi "di luar pembenaran hukum – apalagi yang manusiawi – yang dapat diterima."

Dia juga mengutip para ahli yang mengklaim lebih banyak orang yang meninggal di Gaza karena penyakit dan kelaparan dibandingkan karena serangan udara Israel.

Sedangkan salah satu pengacara yang mewakili Afrika Selatan dalam kasus ini, Tembeka Ngcukaitobi berpendapat, Afrika Selatan "bukan satu-satunya yang menarik perhatian terhadap retorika genosida Israel terhadap warga Palestina di Gaza."

Lima belas pelapor khusus PBB dan 21 anggota kelompok PBB telah memperingatkan, apa yang terjadi di Gaza mencerminkan genosida yang sedang terjadi dan niat terang-terangan untuk menghancurkan rakyat dan pendudukan Palestina,” katanya.

"Israel mempunyai niat melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza," kata Ngcukaitobi di pengadilan.

"Karakter dan bentuknya bersifat sistematis. Pengungsian massal penduduk Gaza, menuju ke wilayah di mana mereka terus dibunuh dan dengan sengaja menciptakan kondisi yang menyebabkan kematian perlahan-lahan tidak dapat diterima."

Ngcukaitobi mengatakan ada "ciri yang luar biasa" dalam kasus ini: "Para pemimpin politik Israel, komandan militer, dan orang-orang yang memegang posisi resmi, secara sistematis dan eksplisit telah menyatakan niat genosida mereka."

Afrika Selatan berpendapat, jika Mahkamah Internasional menolak memberikan tindakan darurat dalam kasus genosida terhadap Israel, maka pengadilan tersebut akan "memperlakukan warga Palestina secara berbeda, karena mereka kurang layak mendapat perlindungan dibandingkan warga Palestina lainnya."

Delegasi Afrika Selatan ingin pengadilan memerintahkan penghentian kampanye Israel di Gaza, sesuatu yang bisa diputuskan pengadilan dalam waktu beberapa minggu.