JAKARTA – Insiden keseleo lidah Gibran Rakabuming Raka yang salah menyebut asam folat menjadi asam sulfat dianggap akan mencoreng branding pendamping Prabowo Subianto tersebut.
Menurut pakar komunikasi politik UNS, Andre Noevi Rahmanto, keseleo lidah ditambah ketidakhadiran Gibran dalam dialog-dialog cawapres yang diadakan berbagai institusi maupun akademisi menyiratkan beberapa kemungkinan.
“Menurut saya ada dua kemungkinan. Pertama memang dia takut debat, yang kedua memang dia sengaja untuk berstrategi seperti itu, branding,” ujarnya, Minggu 10 Desember.
Dia menjelaskan, keputusan tidak mengikuti dialog merupakan hal yang wajar, jika menurut Gibran hal itu adalah kelemahan yang dimilikinya. Branding Gibran sebagai seseorang yang kurang menyukai perdebatan juga bisa menjadi salah satu strategi yang mungkin dipakai untuk menggaet suara pendukung.
BACA JUGA:
“Kenapa branding seperti itu ya karena ada celah pada sebagian masyarakat atau pemilih yang memang nggak suka debat juga. Jadi sebagian mungkin kan berharap ingin lihat debat semua calon untuk menyampaikan gagasannya, tapi banyak juga dari sekian juta pemilih sekian ratus juta pemilih itu nggak terlalu suka debat, nah dia mengambil segmen yang itu,” terang Andre.
Tapi, jika itu menjadi suatu strategi branding, hal tersebut bisa menjadi persoalan yang bisa digunakan untuk melemahkan pasangan Gibran-Prabowo. Karena itu, Gibran harus lebih berhati-hati dan tak hanya menganggap pemilu sebagai ajang untuk mencari kemenangan.
Padahal di sisi lain, debat cawapres malah seharusnya bisa menjadi ruang bagi Gibran ataupun kedua cawapres lainnya untuk menunjukkan gagasan ataupun aspirasinya kepada para calon pemilih. Sebab, masyarakat nantinya bisa menilai para cawapres melalui debat-debat tersebut.
Andre juga menilai, keseleo lidah pengucapan asam folat menjadi asam sulfat merupakan kesalahan fatal yang bisa mencoreng branding Gibran dan membuat calon pemilih kehilangan minat memilih pasangan Prabowo-Gibran.
Dia mengungkapkan, ada tiga faktor penentu keberhasilan seorang tokoh publik, yakni memiliki kredibilitas tinggi, bisa menyentuh sisi emosional dan rasional khalayak. “Kalau dia sering salah, berarti kredibilitasnya turun. Ngomong apa lagi orang nggak percaya, takut, dikira salah lagi,” imbuhnya.
Andre menegaskan, kesalahan pengucapan menjadi fatal jika diucapkan seorang pemimpin, yang memiliki pengaruh besar dalam hidup masyarakat. Karena itu, apa yang ditampilkan para capres dan cawapres saat kampanye ini seharusnya bisa lebih menunjukkan kelayakannya menjadi seorang pemimpin.
"Memang berkompetisi untuk pemilu, tapi apa yang Gibran tampilkan harusnya lebih dari sekadar cari menang. Gibran harus berpikir ke depan jauh untuk masyarakat Indonesia,” tutup Andre.