Celah Industri Ekspor Makanan Indonesia di Tengah Wabah COVID-19
Diskusi publik Polemik virus corona (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sejak organisasi kesehatan dunia (WHO) meningkatkan status virus corona atau COVID-19, penyebaran penyakit ini telah menjadi permasalahan global. Sejumlah sektor industri dan pariwisata ikut terdampak akibat mewabahnya virus ini.

Salah satunya industri pada sektor makanan dan minuman. Hal ini berkaitan penting dengan pendistribusian bahan baku impor dari negara lain. 

Meski begitu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia atau Gapmmi, Adhi S. Lukman mengatakan hingga saat ini produksi industri makan dan minuman di Tanah Air tidak terganggu dengan mewabahnya virus tersebut. Menurutnya Indonesia masih memiliki persediaan bahan baku yang cukup, sehingga produksi masih bisa tetap jalan.

"Enggak ada masalah, untuk di dalam negeri produksi tidak terganggu. Cuma ekspornya saja yang terganggu," ucapnya, usai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk 'Mengukur Efek Corona: Siapkah Kita?' di Jakarta Pusat, Sabtu, 29 Februari 2020.

Menurut Adhi, Indonesia memiliki peluang meningkatkan ekspor produk makanan dan minuman olahan ke China usai merebaknya wabah COVID-19. Sebab, saat ini, pasokan bahan pangan kemasan di sana mulai menipis.

"Ada kabar kita bisa dapat peluang peningkatan ekspor karena di China pangan olahan diserbu. Pemerintah setempat mengimbau warganya tidak mengkonsumsi makanan segar, jadi produk olahan banyak dibeli," jelasnya

Adhi mengaku, pihaknya telah memperoleh permintaan langsung dari kalangan pembeli di China untuk segera mengirimkan produk makanan kemasan, seperti mi, dan minuman seperti aloe vera serta jus. Bahkan, beberapa pembeli meminta volume pengiriman dari Indonesia ditingkatkan.

Menurut Adhi, potensi peningkatan volume ekspor ini dapat menurunkan defisit neraca perdagangan untuk produk pangan olahan hingga 50 persen pada akhir tahun nanti. Berdasarkan data 2019, Adhi mencatat defisit neraca perdagangan untuk produk pangan olahan di Indonesia mencapai 400 juta dollar Amerika.

Defisit ini, ujar Adhi, berasal dari realisasi impor yang lebih besar dari ekspor. Realisasi impor produk pangan olahan Indonesia pada 2019 menyentuh 850 juta dollar Amerika. Sedangkan realisasi ekspor untuk produk yang sama hanya 450 juta dollar Amerika.

Namun saat ini, kata Adhi, pelabuhan maupun bandara di China masih ditutup. Sehingga, belum dapat mengirim logistik ke China. Adhi berharap, dalam waktu dekat pemerintah China sudah membuka akses pengiriman ke sana.

"Mudah-mudahan Maret sudah lancar dan tidak ada masalah," tuturnya.