Bagikan:

JAKARTA - Virus corona atau COVID-19 menyebar cepat di berbagai negara di dunia. Virus yang berawal dari Wuhan, China, ini bahkan mulai mewabah di negara eropa yang pertama kali membuat kebijakan untuk menghalau COVID-19 yaitu Italia. Selain itu, negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara juga melaporkan bahwa terdapat kasus COVID-19 di negaranya. 

Uni Emirat Arab (UEA) adalah negara pertama di Timur Tengah yang mengonfirmasi kasus COVID-19. Pada 29 Januari, Kementerian Kesehatan UEA mengatakan empat anggota keluarga dari China yang tiba dari Wuhan, dinyatakan positif terkena virus itu. 

Mesir juga melaporkan kasus pertamanya pada 14 Februari, menurut Kementerian Kesehatan di Kairo. Pada 19 Februari, Iran melaporkan dua orang meninggal di kota Qom setelah dinyatakan positif terkena COVID-19. Pihak berwenang sejak itu melaporkan 95 infeksi dan 15 kematian.

Lebanon mengonfirmasi kasus pertamanya pada 21 Februari. Seorang wanita Lebanon berusia 45 tahun terkena COVID-19 setelah bepergian di Iran. Israel juga melaporkan kasus pertamanya pada hari yang sama. Seorang wanita Israel yang dievakuasi dari kapal pesiar yang dikarantina di lepas pantai Jepang dinyatakan positif setelah tiba di rumah. Setelah itu Kuwait, Bahrain, Irak, dan Oman melaporkan kasus pertamanya, semua penderita mengaku sehabis bepergian dari Iran. 

"Kesantaian" Iran hadapi COVID-19 

Banyaknya laporan bahwa penderita COVID-19 di negara-negara Timur Tengah sebelumnya bepergian dari Iran tidak membuat negara tersebut berantisipasi tinggi. Hal tersebut dilihat dari tidak adanya kebijakan pengisolasian.  

Iran tidak memiliki rencana untuk mengkarantina kota besar dan kecil meskipun penyebaran wabah COVID-19 di seluruh negeri. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Iran Hassan Rouhani.

Presiden Rouhani mengatakan pada sidang kabinet bahwa otoritas kesehatan hanya akan melakukan karantina individu. Pihak otoritas hanya mengimbau agar masyarakat tidak mengunjungi Kota Qom, pusat wabah COVID-19 di Iran. Namun pihak pemerintah mengatakan bahwa mereka akan tetap membuka wisata religi di kota yang menarik jutaan penganut Syiah.

Representasi Pemimpin Iran, Ayatollah Mohammed Saeedi, mengatakan bahwa alasan orang mendatangi tempat tersebut untuk menenangkan jiwa. Tempat tersebut merupakan penyembuh jiwa, akan tidak adil jika tempat tersebut harus ditutup. Namun ia mengakui bahwa kehati-hatian juga diperlukan dan bahwa petugas akan mengikuti standar kebersihan. 

"Rumah untuk penyembuhan berarti orang-orang akan datang ke sini untuk disembuhkan dari penyakit mental dan fisik. Karena itu, harus tetap dibuka dan orang-orang harus didorong untuk datang ke sini," kata Ayatollah Mohammed Saeedi. 

Kasus COVID-19 sendiri di Iran berjumlah 270 kasus, 26 dilaporkan meninggal dan 49 orang berhasil disembuhkan. Selain itu, Iran juga dianggap sebagai kasus COVID-19 di negara-negara tetangga seperti Afghanistan, Bahrain, Irak, Kuwait, Oman, dan Pakistan.

Pada minggu ini saja, sudah dua pejabat Iran yang terinfeksi virus COVID-19. Pertama adalah Wakil Menteri Kesehatan Iran Iraj Harirchi. Sehari sebelumnya ia mengalami demam saat konferensi pers di mana ia mengatakan karantina massal akibat COVID-19 tidak diperlukan. 

Sehari setelah pemberitahuan bahwa Iraj Hatirchi dikarantina untuk penyembuhan COVID-19, Masoumeh Ebtekar, salah satu wakil presiden Iran, dinyatakan positif virus COVID-19. Ebtekar terkenal di luar Iran karena perannya sebagai juru bicara untuk mahasiswa Iran yang mengambil puluhan sandera di Kedutaan Besar AS di Teheran pada krisis 1979. Ebtekar sempat hadir dalam pertemuan dengan Presiden Rouhani dan kabinet Iran pada Rabu 26 Februari 2020.

Presiden Rouhani meyakinkan Iran bahwa pemerintahnya akan transparan tentang skala wabah COVID-19. Ia menyatakan hal tersebut setelah AS mengatakan prihatin dengan informasi yang menunjukkan rezim Iran mungkin telah menyembunyikan rincian terkait wabah virus. Rouhani menuduh musuh bebuyutan Iran mencoba menggunakan COVID-19 untuk menyebarkan rasa takut pada masyarakat Iran. 

"Virus corona tidak boleh dijadikan senjata bagi musuh-musuh kita untuk menghentikan pekerjaan dan produksi di negara kita," ujar Rouhani, dikutip dari BBC, Jumat 28 Februari 2020. 

Tindakan yang dilakukan Iran justru menjurus menekan agar berita terkait COVID-19 tidak terlalu dipublikasikan. Kantor berita Isna melaporkan bahwa kepala unit polisi cyber Iran yang baru, Vahid Majid, telah mengumumkan penangkapan 24 orang yang dicurigai sebagai "penyebar desas-desus" mengenai wabah tersebut.