JAKARTA - Seruan terhadap pentingnya transisi energi yang terus dilakukan oleh DPR RI dinilai berkontribusi terhadap gerakan energi hijau. Dalam berbagai kesempatan dan upaya, pimpinan dan anggota DPR terus mendukung upaya penggunaan sumber energi dari alam atau Energi baru terbarukan (EBT).
"Masalah global warming menjadi isu yang hangat pada saat ini. Banyak sekali aktivis lingkungan yang melakukan gerakan-gerakan yang mengecam kegiatan yang merusak lingkungan sebagai penyebab pemanasan global," kata Pakar Energi Terbarukan, Rangga Winantyo, Sabtu 21 Oktober.
Pria yang karib disapa Angga ini menilai langkah yang dilakukan DPR dengan banyak mengangkat isu transisi energi dapat mendukung upaya gerakan hijau di tengah masyarakat.
“Mengubah kebiasaan hidup memang sulit, karena kita sudah terbiasa menggunakan energi fosil yang menjadi penyumbang besar dari perubahan iklim. Jadi gerakan penggunaan energi rendah karbon harus didukung dengan kebijakan-kebijakan dan sosialisasi yang masif,” tuturnya.
Dukungan dari sisi legislasi terbukti dengan inisiatif DPR dalam menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT), meski saat ini masih dalam proses pembahasan dengan Pemerintah. Bahkan RUU EBT masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas.
Selain mendukung transisi energi, RUU EBT diharapkan menjadi regulasi yang komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan energi baru terbarukan yang berkelanjutan dan adil sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Angga mengatakan, RUU EBT cukup signifikan mengingat Pemerintah saat ini tengah membuka keran ruang investasi EBT.
“RUU EBT adalah salah satu bukti kontribusi DPR terhadap energi hijau. Meskipun saat ini rancangan tersebut masih dalam proses pembahasan, namun saya rasa progresnya bagus karena ada keselarasan dan saling dukung antara pemerintah dan DPR,” ungkap Dosen Teknik Elektro Universitas Multimedia Nusantara (UMN) itu.
BACA JUGA:
Berbagai produk aturan yang tengah disusun DPR pun terus disesuaikan agar berkesinambungan dengan upaya terciptanya green economy. Termasuk dari sisi penganggaran di mana DPR banyak memberi dukungan terhadap kebijakan-kebijakan transisi energi yang tengah dilakukan Pemerintah.
“Pemerintah saat ini memiliki target 23 persen energi baru terbarukan yang saya rasa bisa tercapai saat lembaga legislatif ikut berkontribusi. Karena DPR ini memiliki peranan penting terhadap setiap program-program yang dibuat Pemerintah, termasuk dalam hal Energi terbarukan,” sebut Angga.
Peneliti Dye Sensitized Sollar Cell ini pun memuji langkah DPR yang membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk memenuhi kebutuhan tambahan listrik gedung wakil rakyat tersebut. Angga menilai, dukungan DPR terhadap transisi energi tak hanya ditunjukkan melalui fungsi legislasi, anggaran serta pengawasan semata, tapi juga langkah nyata yang dimulai dari internal DPR sendiri.
“DPR menjadi salah satu pelopor pembangunan hijau di Indonesia, khususnya bagi instansi atau lembaga-lembaga negara. Tentunya hal ini sangat berkontribusi terhadap gerakan energi hijau di Indonesia karena DPR memberi contoh langsung,” ucapnya.
Penggunaan panel surya di kompleks parlemen merupakan komitmen DPR dalam upaya menyelamatkan bumi dari ancaman perubahan iklim. Panel surya atau sollar cell menyerap energi dari matahari sebagai sumber energi.
PLTS di kompleks parlemen tersebut berada di Taman Energi DPR yang lokasinya tepat di depan Gedung Nusantara atau Gedung Kura-kura. Pembangunan panel surya di kompleks DPR mengusung konsep green building walaupun untuk saat ini baru dapat memenuhi 25 persen kebutuhan listrik di gedung DPR.
Menurut Angga, penggunaan energi terbarukan yang rendah karbon sebagai langkah transisi energi harus diwujudkan dalam aksi nyata seperti yang sudah diinisiasi oleh DPR. Ia mengimbau instansi atau lembaga negara lain mengikuti upaya DPR itu agar gerakan energi hijau semakin umum dilakukan.
"Walaupun penggunaan solar sel hanya efektif selama 4-6 jam perhari, tapi hasil listrik yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengurangi penggunaan listrik PLN. Sehingga bisa mengurangi beban PLN dalam memproduksi listrik yang masih menggunakan bahan bakar fosil,” papar Angga.
Oleh karena itu, Angga mendorong agar penggunaan sollar cell semakin digalakkan di Indonesia. Menurutnya tugas ‘memperbaiki’ bumi bukan hanya kewajiban para pemangku kebijakan saja, tapi juga tanggung jawab dari masyarakat itu sendiri untuk mau mengubah kebiasaan dengan beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.
“Kita juga dapat berpartisipasi dalam mengurangi efek pemanasan global tanpa melakukan hal yang ekstrem. Salah satu caranya adalah dengan beralih ke Energi Terbarukan,” ujarnya.
Transisi energi dapat memanfaatkan dengan sumber energi tenaga matahari, angin dan air.
“Di antara sumber energi tersebut, energi matahari lah yang cocok digunakan di level residensial,” terang Angga.
Peraih gelar Doktor ganda dari Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Shizuoka, Jepang ini mengatakan, PV surya menyumbang 4,5% dari total pembangkitan listrik global. Angga mendorong agar semakin banyak lagi masyarakat yang memanfaatkan sumber energi surya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Pada saat ini sollar cell sudah banyak yang diproduksi secara komersil dengan harga yang mulai terjangkau. Dalam penggunaannya, sel surya ini menghasilkan 0 emisi," tuturnya.
Penggunaan pembangkit listrik dari PV surya atau photovoltaic (teknologi fotovoltaik) diketahui meningkat sebesar 270TWh pada tahun 2022. Angka tersebut naik 26 persen dibandingkan tahun 2021.
Angga pun menyarankan agar sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dimaksimalkan dengan cara On-Grid. Cara tersebut yakni dengan menghubungkan langsung ke jaringan listrik utama di gedung-gedung.
"Sistem sel surya yang digunakan sebaiknya menggunakan sistem on-grid, tanpa penyimpanan energi atau baterai yang biasanya berupa aki. Dikarenakan lifetime baterai atau aki biasanya hanya 1-2 tahun," urai Angga.
"Ketika aki sudah tidak dapat dipakai, maka akan didaur ulang. Proses daur ulang ini tidaklah mudah, dan berisiko untuk mencemarkan lingkungan jika dalam jumlah banyak. Jangan sampai usaha kita dalam mengatasi masalah, malah menghasilkan masalah baru," tambahnya.
Selain pembangkit listrik tenaga matahari, angin dan air juga merupakan sumber energi yang dapat dimanfaatkan dalam langkah transisi energi. Hanya saja pemanfaatan sumber air dan angin untuk energi membutuhkan infrastruktur yang lebih besar.
"Untuk tenaga air, kita harus berada dekat dengan sumber air yang mengalir, sedangkan untuk tenaga angin, alat yang digunakan cukup besar dan sangat bergantung dengan kondisi angin, karena tidak setiap saat berhembus," papar Angga.