UU Amandemen Kewarganegaraan India: Ketika Pemerintah Bias dengan Kelompok Agama Tertentu
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Sudah sebulan lebih India dipenuhi dengan aksi protes besar-besaran menyusul pengesahan Undang-Undang (UU) Amandemen Kewarganegaraan oleh Parlemen India. 

Pada pertengahan Januari, sebuah aksi protes dilakukan kelompok mahasiswa, namun aksi protes tersebut ditanggapi brutal oleh pihak kepolisian. Aksi protes semakin menyebar dan Pemerintah India mengandalkan hukum era kolonial yang menyatakan bahwa perkumpulan yang berisi lebih dari empat orang dilarang. Pihak otoritas juga sempat mematikan jaringan internet di beberapa daerah, termasuk New Delhi yang mana merupakan ibu kota India. 

Dilansir dari Reuters, Rabu, 26 Februari, 24 orang tewas dan ratusan lainnya cedera dalam kerusuhan antara kelompok Hindu dan Muslim. Pejabat rumah sakit mengonfirmasi banyak korban yang datang dengan luka tembak, di tengah insiden pelemparan batu, pembakaran, dan penjarahan. Sayangnya pihak Pemerintah India tidak berkomentar banyak terkait kejadian tersebut. 

Apa Itu UU Amandemen Kewarganegaraan?

Dikutip dari BBC, Kamis 27 Februari, sebelum Pemilu 2019, Partai Bharatiya Janata yang berkuasa merilis sebuah manifesto. Manifesto itu menegaskan, mereka akan berkomitmen memberlakukan UU yang memberikan kewarganegaraan kepada penganut agama minoritas yang melarikan diri akibat persekusi agama yang berada di tiga negara tetangga, yaitu Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan. 

Agama minoritas yang mereka maksud adalah Hindu, Sikh, Jain, dan Kristen. Dalam beberapa bulan pemilihan ulang mereka, pemerintah memperkenalkan UU Amandemen Kewarganegaraan. 

Pemerintah India lalu menjelaskan alasannya memberlakukan UU tersebut, yang mana tidak memasukkan agama Islam. Mereka berpendapat, sejak konstitusi Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh menentukan Islam sebagai agama dari negara tersebut, individu-individu dari komunitas agama lain menghadapi kekerasan yang menyebabkan banyak orang melarikan diri ke India. 

Dengan demikian, Pemerintah India membuat peraturan tersebut sebagai langkah yang memungkinkan para imigran ini tinggal dan bekerja di India.

Menteri Dalam Negeri India mengklaim, pemerintah tidak mengambil hak siapa pun, melainkan memberikan hak kepada orang-orang yang membutuhkan. 

Tidak ada yang keberatan dengan undang-undang baru, katanya. Ia beralasan bahwa pemerintah berupaya melindungi minoritas dari negara lain dengan dan mendukung komunitas minoritas di India. 

"Keistimewaan" dari UU ini adalah mereka dari kelompok agama minoritas dan negara tersebut mendapatkan kewarganegaraan India dengan naturalisasi dengan cepat. Jika peraturan sebelumnya mengharuskan mereka harus tinggal di India setidaknya selama 11 dari 14 tahun, kini hanya 5 tahun. 

Kontroversi UU Amandemen Kewarganegaraan

UU Amandemen Kewarganegaraan menunjukkan bahwa terdapat eksklusivitas dan melanggar prinsip-prinsip sekuler dalam konstitusi India. Pemerintah India (terlihat) tidak sadar jika usahanya untuk tidak mendiskriminasi minoritas, justru dengan mendiskriminasi minoritas lainnya. 

Kritik juga dilayangkan oleh berbagai kalangan di India. Kritik itu berbunyi bahwa India ingin melindungi minoritas yang terkena persekusi, seharusnya juga dapat melihat lebih luas lagi penganut Islam yang menjadi minoritas di negara lain dan kabur ke India.

Seperti contohnya etnis Rohingya, yang beberapa waktu lalu telah dideportasi, padahal mendapatkan persekusi dan merupakan kelompok minoritas namun tidak mendapatkan perlindungan dari India. 

Selain itu secara tidak langsung bagi migran yang beragama Islam akan terus berstatus ilegal di India karena tidak dapat menindaklanjuti pengurusan menjadi warga negara India karena tidak dalam termasuk golongan minoritas yang disebutkan di UU Kewarganegaraan. Pemerintahan semakin terlihat tidak adil karena akan memperlakukan migran berdasarkan agama.

Namun Partai Bharatiya Janata Modi membantah melakukan tindak "bias" terhadap penganut Islam.

Komisi dari Amerika Serikat tentang Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) khawatir dengan kekerasan di India ini. Mereka mendesak Pemerintah India mengendalikan gerombolan massa dan melindungi minoritas agama dan lainnya yang menjadi sasaran. 

Sikap Narendra Modi

Perdana Menteri Narendra Modi menegaskan, UU itu dibuat untuk memberikan kewarganegaraan kepada warga, dan negara tidak mengambilnya dari siapa pun.

Berbicara di Belur Math, Kolkata, di sebuah pertemuan yang banyak dihadiri kaum muda, PM Modi mengatakan, meskipun sebagian besar mahasiswa dan remaja memahami pentingnya UU Amandemen Kewarganegaraan dan mengapa pemerintah mengesahkan undang-undang, masih ada beberapa yang disesatkan oleh isu agama. Modi mengatakan, itu adalah tugas pemuda untuk membuat orang sadar akan pentingnya UU tersebut.

Dalam kesempatan lain, PM Modi juga mengatakan, UU Amandemen Kewarganegaraan hadir untuk memperbaiki "ketidakadilan sejarah" terhadap minoritas dari negara-negara tetangga dan untuk memenuhi "janji lama" negara itu. 

Alasan yang Modi berikan tidak memberikan efek menenangkan bagi masyarakat yang telah terpecah belah antara pendukung dan penentang UU Kewarganegaraan. Tak sampai di situ, aksi tersebut menjadi pertengkaran antara kelompok Hindu dan kelompok Islam. 

Di tengah kekerasan yang terjadi antar-umat agama, tidak ada kebijakan berarti yang dibuat Modi selain meminta masyarakat untuk berdamai. Sehari sesudah pertemuannya dengan Presiden AS Donald Trump, PM Modi memohon agar New Delhi kembali berdamai.

Hal tersebut, Modi lakukan setelah ada laporan 24 orang tewas dan ratusan lainnya cedera dalam kerusuhan. Pejabat rumah sakit mengonfirmasi banyak korban yang datang dengan luka tembak, di tengah insiden pelemparan batu, pembakaran, dan penjarahan. 

"Kedamaian dan harmoni adalah pusat dari etos kami. Saya mengimbau saudara dan saudari di New Delhi untuk menjaga perdamaian dan persaudaraan setiap saat," kata Modi. 

Kerusuhan seperti ini sesungguhnya tidak asing bagi Modi. Pada 2002, di Gujarat, ketika Modi menjadi pejabat tinggi di daerah tersebut, terdapat bentrokan antara umat Hindu dan Islam.

Pemberontakan tersebut menewaskan lebih dari 1.000 orang dan menjadi kerusuhan terburuk. Modi sempat disidang namun akhirnya dibebaskan, meski banyak yang berpendapat bahwa Modi bersalah karena tidak berbuat banyak untuk menghentikan pemberontakan.

Kini pada 2020, kejadian serupa kembali terjadi. Seperti tidak belajar dari pengalamannya, PM Modi kembali tidak melakukan sesuatu hal untuk menekan pemberontakan. Entah sampai kapan pertikaian antar-agama di India akan dibiarkan.