Bagikan:

JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengungkapkan kekecewaannya atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi soal batas usia capres-cawapres menjadi 35 tahun.

Hal ini diungkapkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum PSI Francine Widjojo usai menghadiri sidang pembacaan putusan atas perkara yang diajukan PSI dengan nomor 29/PUU-XXI/2023.

"Meskipun kami kecewa, ya tentu karena permohonan ditolak, tapi bagaimanapun kami sangat menghargai putusan dari MK," kata Francine di Gedung MK, Senin, 16 Oktober.

Juru Bicara PSI, Mikhail Gorbachev Dom menambahkan, partainya mengapresiasi dissenting opinion atau opini berbeda dari Hakim MK Guntur Hamzah yang memandang perlu dipertimbangkan perkembangan dinamika kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan, salah satunya terkait dengan kebijakan batasan usia bagi capres-cawapres.

"Tadi dalam dissenting opinion Pak Guntur, disebutkan bahwa orang yang sudah mengampu pemimpin-pemimpin negara itu bisa punya kredibilitas lebih karena dia dianggap sudah pernah dipilih rakyat, jadi akan lebih mudah untuk menjadi kepala negara," ujar Mikhail.

Dia memandang, umur capres-cawapres 35 sampai 40 tahun merupakan kategori umur yang sama-sama dewasa. Sehingga, tak dikabulkannya penurunan batas usia ini, menurutnya, adalah diskriminasi golongan umur.

"Ini kemunduran juga, ya, bahwa sebenarnya melalui UU sudah pernah diputus oleh dua Uu sebelumnya 35 tahun, tapi tiba-tiba dinaikkan kembali menjadi 40 tahun. Jadi ini kan suatu kemunduran yang tidak diinginkan oleh PSI," urai dia.

Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengeluarkan putusan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Putusan tersebut bernomor perkara 29/PUU-XXI/2023 yang pada intinya meminta klausul batas usia capres-cawapres diubah menjadi minimal 35 tahun dalam pasal tersebut. Hasilnya, Hakim MK menolak untuk mengabulkan gugatan tersebut.

"Amar putusan. Mengadili: menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membaca putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, 16 Oktober.

Anwar menuturkan, berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, disimpulkan bahwa mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, dan pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Dalam pertimbangannya, mahkamah menyebut bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sepanjang tidak dimaknai "berusia sekurang-kurangnya 35 tahun" telah ternyata tidak melanggar hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

"Dengan demikian, dalil para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," urai Hakim MK Saldi Isra.