Bagikan:

JAKARTA - Pemberian kuota impor holtikultura, utamanya bawang putih dan buah kian mendapat sorotan. Pengurus Perkumpulan Pengusaha Bawang Nusantara (PPBN) Mulyadi meminta Kementerian Pertanian (Kementan) untuk membuka semua data perusahaan yang mengajukan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang baru diberikan.

Diduga, sejumlah penerima RIPH justru adalah perusahaan baru yang mendapatkan bantuan 'tangan elit politik' untuk memperoleh kuota. Terhadap hal ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah menelisik. Komisi juga membuka pintu, agar pihak yang dirugikan dalam persoalan RIPH ini mau memberikan informasi lebih dalam.

“Kalau misalnya yang memenuhi syarat itu sudah sekian banyak, kemudian ada versi lain lagi selain pemenuhan syarat itu, ada indikasi diskriminatif itu bisa jadi masalah. Tapi kalau sudah sesuai prosedur, ya memang tugasnya Kementerian Pertanian untuk memberikan RIPH,” ujar Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Chandra Setiawan dalam keterangan yang diterima, Kamis 27 Februari.

Mulyadi mengatakan, dari 100 perusahaan yang mengajukan aplikasi permohonan RIPH, yang mendapatkan kuota dari Kementan hanya 10 perusahaan. Sedangkan tujuh dari perusahan tersebut, disinyalirnya merupakan PT yang baru berdiri.

"Kalau isu pemburu rente dan bantuan elit politik agar mendapat RIPH atau SPI sebuah keniscayaan. Bila masih menggunakan sistem kuota atau wajib tanam, tapi itu hanya praduga," jelas Mulyadi.

PPBN juga ingin agar Presiden Jokowi  tahu tentang tidak transparannya impor bawang ini. Ia menegaskan dirinya bukan anti swasembada, namun target swasembada Kementan 2015-2019 jelas-jelas tidak tercapai. Bahkan sama seperti padi, kedelai, jagung, dan daging yang importasinya masih tinggi.

“Ironisnya PT baru tersebut mendapat RIPH sekitar 30.160 ton dan 16.500 ton. Jadi selama menggunakan sistem kuota swasembada bawang putih omong kosong,” katanya lagi.

Seperti diketahui, perusahaan yang melakukan impor bawang sebelumnya diwajibkan menanam komoditas bawang di dalam negeri, sebanyak lima persen dari kuota yang diimpornya. Hal itu diatur dalam Permentan Nomor 38 Tahun 2017, yang kemudian direvisi menjadi Permentan Nomor 39 Tahun 2019.

Ada pula syarat-syarat lainnya yang tegas, termasuk bonafiditas perusahaan pengimpor dan gudang yang dimiliki. Termasuk kepemilikan gudang dan kendaraan yang sesuai persyaratan. Mulyadi mendesak, Kementan membuka profil perusahaan yang sudah memenuhi persyaratan.

Terhadap persoalan RIPH, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Chandra Setiawan, mengatakan, pihaknya mengawasi ini. Soal pemberiannya dan pengaturan kuota, KPPU menekankan memang harus dilihat siapa saja yang mengajukan dan pemenuhan persyaratannya.

Menurut Chandra, ketika suatu perusahaan importir sudah memenuhi persyaratan maka RIPH harus diterbitkan setiap saat, dan tidak perlu menunggu-nunggu. KPPU berharap RIPH bisa terbit setiap saat agar harga-harga di internasional itu tidak bisa dipermainkan oleh pemain ekspor impor baik di dalam dan luar negeri.

“Kalau misalnya RIPH itu keluarnya terjadwal, itu malah akan mudah dipermainkan, mudah dibaca oleh produsen,” kata dia.

Ia juga menekankan, jika ada perusahaan yang merasa terdiskriminasi, KPPU terbuka untuk menerima laporan. Jika tidak ada importir yang melapor, bisa berimplikasi dianggap tidak ada masalah berarti di proses RIPH ini.

Terhadap Kementan, KPPU berharap tak lagi mengeluarkan RIPH tidak menggunakan kuota. Melainkan berdasarkan kebutuhan dari pelaku usaha dan memenuhi aturan-aturan yang berlaku. Seharusnya, lanjutnya, importir tidak mudah juga mendapatkan RIPH tanpa memenuhi persyaratan.

Sementara Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasludin menjelaskan, pada rapat terbuka dengan Kementan, sudah disebut nama-nama perusahaan yang mendapat RIPH dan berapa kuota impornya. “Memang baru 100 ribu ton. Kebutuhan kita untuk komsumsi 700 ribu ton,” ujarnya.

Ia menegaskan, seharusnya jangan sampai ada impor di luar data yang diberikan Kementan itu, karena akan memukul bawang putih lokal. Politisi PKS ini meminta perusahaan yang mendapat kuota impor benar-benar memenuhi syarat, termasuk kepemilikan gudang, kendaraan angkut, dan pengalaman bertanam.

“Jangan perusahaan impor baru sekedar dapat komendasi, kemudian tidak menanam bawang putih,” jelasnya.

Sebaliknya, Kementan menegaskan, pemberian RIPH sudah dilakukan terbuka. Dirjen Holtikultura Kementan Prihasto Setyanto usai rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR, membantah tudingan RIPH tak transparan. Prihasto mengatakan pemberian RIPH sudah dilakukan secara terbuka.

Dia juga membantah ada konflik kepentingan dalam pemilihan importir. Namun dia tidak membeberkan perusahaan-perusahaan yang diberikan RIPH dengan kuota masing-masing. "Kata siapa kurang terbuka. Enggak. Kan dugaan saja. Semua terbuka," katanya.