JAKARTA - Komisi II DPR RI mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) untuk mempercepat pendataan bagi pegawai honorer atau pegawai Pemerintah non-ASN. Hal ini menyusul ditemukan banyaknya persoalan terkait pendataan tenaga honorer.
“Benahi urusan honorer hingga ke akarnya. Bersihkan data. Audit dengan seksama,” kata Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera di Jakarta, Selasa, 19 September.
Pemerintah telah melakukan pendataan non-ASN kepada seluruh tenaga honorer di Indonesia.
Hasil pendataan dan verifikasi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan jumlah yang terdata mencapai sebanyak 2,3 juta pegawai. Setelah dilakukan audit dan pengecekan ternyata terdapat banyak sekali data non-ASN yang bodong alias fiktif.
Pemerintah pun telah membatalkan rencana penghapusan seluruh non-ASN di Indonesia pada November 2023. Sebagai informasi, pemerintah sedianya akan menghapus pegawai honorer pada November 2023 sesuai amanat UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Sebenarnya per 2018, sisa Tenaga Honorer hanya sekitar 444.687 orang, yang disebut sebagai Tenaga Honorer Kategori II/THK 2 atau biasa juga disebut tenaga honorer K2. Namun setelah dilakukan pendataan dan validasi data jumlah tenaga non-ASN terbaru, total tenaga honorer saat ini mencapai 2,3 juta.
Atas dasar itu, Mardani meminta pemerintah segera menyelesaikan carut marutnya urusan tenaga honorer tersebut.
“Segera angkat honorer K2 yang sudah lama menunggu,” tegasnya.
Tenaga honorer K2 sendiri merupakan tenaga honorer yang sudah melewati pendataan Pemerintah pada tahun 2010 dan seharusnya diangkat melalui seleksi PPPK pada 2018-2019. Hanya saja sampai saat ini masih ada sejumlah tenaga honorer K2 yang belum diangkat menjadi ASN.
Pada rapat terbaru dengan Kemen PAN-RB, Komisi II DPR menyerahkan hasil temuan adanya sekitar 3 juta tenaga honorer yang tidak terdaftar dalam pendataan yang dilakukan oleh Kemen PAN-RB bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Temuan data sebanyak 3.000.389 pegawai itu merupakan inisiatif dari pimpinan Komisi II DPR melalui pembukaan kanal pengaduan online. Lewat sarana ini, banyak pegawai non-ASN yang mengeluh lantaran takut datanya diganti, oleh tenaga honorer titipan alias bodong.
Menpan-RB Abdullah Azwar Anas pernah mengungkap masih ada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam rekrutmen tenaga honorer atau pegawai non-ASN. Hal ini yang masih menjadi salah satu kendala dilema dalam reformasi birokrasi.
“Pentingnya pendataan dan verifikasi adalah agar jangan sampai tenaga honorer yang memang betul-betul bekerja dan memiliki kapasitas, malah tergeser oleh oknum-oknum yang memanfaatkan kedekatan dengan pihak birokrasi,” jelas Mardani.
Mardani pun mengingatkan Pemerintah untuk menindaklanjuti temuan Komisi II DPR. Apalagi pegawai non-ASN yang sudah terdata berdasarkan hasil verifikasi BKN telah mengabdi bertahun-tahun kepada negara.
“Seluruh mata saat ini sedang mengawasi dengan harapan besar terletak pada Pemerintah untuk menjalankan tugasnya dengan integritas dan tanggung jawab melakukan percepatan pendataan teman-teman kita tenaga honorer yang sudah mengabdi lama kepada negara,” ujar Mardani.
Lebih lanjut, Komisi di DPR yang salah satu lingkup tugasnya membidangi urusan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tersebut juga mendesak Pemerintah pusat mempercepat pendataan dan mendorong kepala daerah untuk mengirimkan jumlah tenaga honorer yang bekerja di lingkungan pemerintahan. Terlebih, kata Mardani, kebanyakan pegawai honorer yang tidak terdaftar memiliki masa kerja cukup panjang.
"Mereka telah mengorbankan waktu, tenaga, dan dedikasi untuk melayani masyarakat dengan penuh tanggung jawab. Namun, mereka masih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan yang layak atas
pengabdiannya," sebut Legislator dari Dapil DKI Jakarta I ini.
Mardani menekankan pentingnya menjaga integritas data dalam mendata pegawai honorer. Sebab ada banyak kekhawatiran terdapatnya manipulasi data yang dapat merugikan para honorer yang telah bekerja dengan baik dan jujur.
"Banyak aduan yang masuk dari pegawai honorer, mereka mencemaskan data mereka yang diubah atau disalahgunakan sehingga mereka tidak mendapatkan hak pengangkatan menjadi PPPK. Ini yang juga yang harus diawasi bersama," terang Mardani.
Komisi II DPR juga mengingatkan Pemerintah untuk benar-benar konsisten dalam mengatasi berbagai persoalan terkait pendataan tenaga honorer dan pengangkatan bagi mereka yang telah memenuhi syarat. Mardani meminta agar Pemerintah menjunjung tinggi prinsip transparansi dalam proses audit.
"Jika datanya sudah terkumpul, buka ke publik secara utuh berdasarkan rekam jejak pengabdiannya. Jadi masyarakat yakin bahwa Pemerintah memang memprioritaskan pegawai honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun, sesuai janji sebelumnya," ungkapnya.
Mardani pun meminta Pemerintah untuk membuat tenggat waktu penyelesaian pendataan berapa sebetulnya jumlah tenaga honoret. Dengan begitu, proses penerimaan tenaga honorer menjadi PPPK atau ASN dapat berjalan dengan efektif.
"Untuk menyemangati dalam proses pendataan, Pemerintahan harus memiliki tenggat waktu yang diberikan kepada kepala daerah untuk segera menyusun jumlah pegawai honorer di daerahnya masing-masing. Sebab, hasil akhir dari data ini sangat ditunggu masyarakat," papar Mardani.
Dengan mempercepat pendataan dan transparansi pengumpulan data, diharapkan hal tersebut semakin mengukuhkan aspek keadilan bagi pegawai honorer. Menurut Mardani, transparansi dan keadilan merupakan kunci untuk memotivasi tenaga honorer dalam melanjutkan pengabdiannya kepada negara.
"Ini juga akan memenuhi komitmen dalam mewujudkan kesempatan yang adil bagi pegawai honorer untuk menjadi ASN PPPK. Sekaligus memberikan penghargaan kepada mereka yang telah setia melayani negara Indonesia," ucapnya.
Di sisi lain, Mardani mendukung keputusan Pemerintah yang menerbitkan surat edaran (SE) untuk meminta Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) instansi pusat dan daerah agar tetap mengalokasikan anggaran untuk pembiayaan bagi tenaga non-aparatur sipil negara atau non-ASN.
Hal itu menyusul karena saat ini Pemerintah bersama DPR serta berbagai pemangku kepentingan sedang melakukan penataan tenaga non-ASN dan mencari solusi terbaik terkait adanya Peraturan Pemerintah No. 49/2018 yang mengatur tidak boleh lagi ada tenaga non-ASN.
Sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kementerian PAN-RB diminta mencari solusi jalan tengah dengan prinsip antara lain menghindari terjadinya PHK massal dan tidak boleh ada pengurangan pendapatan dari yang diterima tenaga non-ASN saat ini.
“Sambil kita mencari solusi dari persoalan ini, Pemerintah harus bisa memastikan tenaga honorer tetap bisa menjalankan tugasnya tanpa khawatir diputus kontrak kerja samanya, ataupun tidak digaji,” tutup Mardani.