JAKARTA - Minggu 23 Februari, otoritas Iran mengumumkan bahwa total 42 persen pemilih yang berpartisipasi dalam Pemilu Parlemen Iran 2020. Jumlah tersebut terendah sejak revolusi Islam 1979.
Sebelumnya, pada Pemilu Parlemen Iran 2016, jumlah pemilih sebesar 62 persen dalam pemungutan suara dan 66 persen pemilih memberikan suara pada 2012.
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Khamenei mengatakan, rendahnya jumlah pemilih pada "propaganda negatif" tentang COVID-19 oleh musuh-musuh Iran.
"Propaganda negatif tentang virus ini dimulai beberapa bulan yang lalu dan tumbuh lebih besar menjelang pemilihan," kata Ayatollah Khamenei, dikutip dari Reuters, Senin 24 Februari.
"Media mereka (AS) tidak melewatkan kesempatan terkecil untuk mencegah pemilu di Iran dan menggunakan alasan penyakit dan virus," tambah Khamenei.
Iran mengonfirmasi kasus pertama COVID-19 dua hari sebelum pemilu. Pihak otoritas menjelaskan, terdapat 43 kasus COVID-19 di empat kota berbeda, termasuk di ibu kota Iran yaitu Teheran. Dengan delapan kematian, Iran merupakan negara yang mengalami jumlah kematian tertinggi akibat virus tersebut di luar China.
"Jumlah pemilih di seluruh negeri adalah 42,57 persen. Di Teheran, sekitar 25 persen (yang ikut memilih). Di seluruh Iran, lebih dari 24 juta orang memilih," kata Menteri Dalam Negeri Iran Abdolreza Rahmani Fazli mengatakan pada konferensi pers yang disiarkan televisi.
Iran menghadapi isolasi yang semakin besar dan ancaman konflik atas kebuntuan perjanjian nuklirnya dengan AS dan meningkatnya ketidakpuasan di dalam negeri. Jumlah pemilih yang semakin menurun dipandang sebagai referendum tentang popularitas para penguasa di Iran.
BACA JUGA:
Hasil akhir pemilu yang diumumkan oleh Kementerian Dalam Negeri, menunjukkan bahwa terdapat keuntungan besar oleh para loyalis garis keras yang dekat dengan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, yang baru-baru ini menyampaikan pidato tentang semua masalah negara.
Kelompok garis keras mendominasi hasil pemilu parlemen dengan memperoleh 30 kursi. Mantan komandan Pengawal Revolusi, Mohammad Bagher Qalibaf, menduduki suara tertinggi. Qalibaf yang pernah menjabat sebagai komandan angkatan udara, seorang veteran perang, dan seorang kepala polisi nasional telah kerap digadang-gadangkan menjadi pemimpin tertinggi Iran, memperkuat peluangnya untuk menjadi pembicara parlemen berikutnya.
Parlemen sebenarnya tidak memiliki pengaruh besar pada urusan luar negeri atau kebijakan nuklir Iran, yang ditentukan oleh Khamenei. Namun diperkirakan akan memperkuat kelompok garis keras dalam Pemilu Presiden 2021 dan memperkuat kebijakan luar negeri Iran.
"Partisipasi orang-orang kami dalam pemilihan di hari Jumat itu baik," tukas Khamenei.