Bagikan:

JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan hampir 70 persen kematian akibat kanker di dunia terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia karena didiagnosis pada stadium lanjut.

“Hal ini terjadi karena dua dari tiga pasien kanker di Indonesia didiagnosis pada stadium lanjut,” katanya dalam seminar berjatuk Precision Oncology Symposium: Addressing Diagnostic Gaps in Personalized Cancer Care oleh Roche Indonesia di Jakarta,  dilanir ANTARA, Sabtu, 26 Agustus.

Padahal, Budi menuturkan, 30 persen sampai 50 persen kanker bisa diobati jika ditemukan di awal sedangkan kebanyakan pasien didiagnosis ketika sudah pada stadium akhir.

Dia menjelaskan, diagnosis kanker yang terlambat salah satunya disebabkan oleh kurangnya jumlah dokter spesialis dan alat kesehatan yang menyebabkan antrian panjang dan waktu tunggu yang lama.

“Itu menyebabkan akses ke pelayanan rujukan kanker amat terbatas,” ujar Budi.

Tak hanya itu, kemampuan tenaga kesehatan untuk mendiagnosis kanker juga belum optimal yang menyebabkan kurangnya kualitas pelayanan di rumah sakit.

Sementara itu, ia mengatakan pendekatan diagnosis kanker perlu mengikuti perkembangan teknologi terbaru karena pemeriksaan kanker berbasis genetik dapat membantu pemeriksaan kanker secara dini, akurat, dan tepat.

Pengembangan layanan precision medicine juga penting dalam mendeteksi risiko kanker secara dini, mendeteksi biomarker obat demi terapi yang presisi.

Namun upaya menanggulangi kanker secara masif dan terintegrasi memerlukan dukungan semua pihak dan peran dari organisasi profesi, swasta, dan organisasi masyarakat sebagai mitra.

“Pembangunan kesehatan nasional terus dibutuhkan untuk mencapai tujuan bersama dalam menyehatkan bangsa,” katanya.

Salah satu contoh kanker paling umum dan mematikan adalah kanker paru-paru yang bertanggung jawab atas lebih banyak kematian dibandingkan gabungan kanker payudara, kolorektal, dan prostat.

Pada diagnosis kanker paru, pengambilan sampel kini dihadapkan pada serangkaian tantangan termasuk keterbatasan ketersediaan instrumen dan kurang optimalnya integrasi antar-disiplin ilmu yang relevan.

Konsultan Patologi Anatomi di RS dr. Sardjito mengatakan Didik Setyo Heriyanto mengatakan untuk meningkatkan efisiensi penanganan kanker paru dibutuhkan kolaborasi multidisipliner sejak fase awal.

Kolaborasi multidisipliner tersebut melibatkan para ahli dari bidang paru onkologi, patologi anatomi, dan radiologi onkologi untuk memastikan akuisisi informasi yang mendalam sekaligus optimasi dalam pengambilan sampel untuk evaluasi laboratorium.

Pendekatan kolaboratif ini berpotensi mempercepat hasil pemeriksaan, mengurangi durasi yang awalnya lebih dari dua minggu menjadi lima sampai 10 hari.

“Dengan kecepatan respons yang meningkat, pasien memiliki akses dini pada terapi target seperti EGFR, ALK, dan imunoterapi PD-L1, disamping pilihan terapi konvensional lainnya,” katanya.