JAKARTA - Intervensi penurunan angka prevalensi stunting di Indonesia terus digencarkan oleh pemerintah. Hal ini demi mengejar target angka stunting yang menurun menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Sebagai salah satu upaya penurunan angka stunting, muncul gerakan One Day One Egg dalam artian memberikan konsumsi sebutir telur dalam satu hari kepada anak.
Kampanye One Day One Egg ini diinisiasi oleh yayasan Edu Farmers Foundation dalam program Santosa untuk Anak Nusantara. Head of Stunting Prevention Program Edu Farmers, Meigie Silviana menjelaskan, gerakan One Day One Egg
Dalam program ini, Meigie menyebut alasan pihaknya melakukan intervensi menggunakan telur karena telur memiliki berbagai manfaat untuk perkembangan anak dan dinilai efektif dalam menangani stunting.
"Kami merujuk pada salah satu jurnal, studi Washington University, di mana studi tersebut menyatakan bahwa memberikan satu butir telur kepada anak selama enam bulan berturut-turut berpotensi menurunkan angka stunting hingga 47 persen," kata Meigie dalam diskusi di kantor Tanoto Foundation, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Juli.
Meigie menjelaskan, gerakan One Day One Egg memiliki sejumlah kelebihan dalam penurunan angka stunting. Di antaranya, telur merupakan protein hewani dengan harga yang terjangkau.
Kemudian, ketersediaan telur di Indonesia cukup banyak. Yang tidak kalah penting, telur memiliki protein dan asam amino esensial yang lengkap untuk pertumbuhan anak.
"Dari penyimpanannya, kita tahu di desa dan masyarakat kurang mampu itu masih banyak yang belum punya kulkas. jadi, telur ini masih bisa disimpan di suhu ruangan selama 1-2 minggu. Jadi, tidak akan merepotkan," jelasnya.
Dalam pelaksanaannya, kampanye ini digelar selama enam bulan di 3 daerah, yakni Kota Cirebon, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Maros. Edu Farming melakukan pemetaan peternak yang berkegiatan di wilayah intervensi penurunan stunting yang dijalankan.
Lalu, Edu Farmers juga lebih dulu melakukan sosialisasi kepada perangkat desa, puskesmas, dan juga posyandu. "Kami juga melakukan validasi dan verifikasi status anak agar lebih tepat sasaran. anak yang berstatus underweight dan stunting akan mendapatkan program ini," ungkap dia.
Sejak program dimulai, Meigie mengungkapkan pihaknya bekerja sama dengan kader posyandu untuk mendistribusikan telur kepada penerima manfaat setiap minggunya sebanyak 7 butir selama 6 bulan. Selama program berjalan, Edu Farmers melakukan monitoring harian dan monitoring bulanan.
"Dalam monitoring harian, orang tua atau penerima manfaat mengirimkan foto anak sedang makan telur setiap harinya. supaya tidak hanya mengubah perilaku agar terbiasa memberikan konsumsi telur kepada anak, tapi juga memastikan telur ini bisa benar-benar dimakan oleh si anak. Lalu, setiap bulannnya, kami bersama kader posyandu melakukan pemantauan dari pertumbuhan anak," urai Meigie.
Dari sisi pemerintah, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Suprayoga Hadi menjelaskan terdapat dua mekanisme intervensi penurunan angka stunting, yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
Intervensi spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1000 hari pertama kehidupan, mulai dari pemberian makanan pada ibu hamil hingga imunisasi lengkap pada anak.
BACA JUGA:
Sementara, intervensi sensitif dilakukan melalui berbagai kebiatan pembangunan di luar sektor kesehatan, seperti penyediaan akses pada air bersih dan sanitasi, hingga edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja.
"Sejak tahun 2018, Setwapres menginisiasi strategi nasional pencegahan stunting. sekarang, dengan Perpres Nomor 72 Tahun 2021, namanya sudah percepatan penurunan stunting. Kita lebih fokus kepada penurunan angka prevalensi yang benar-benar kita upayakan. Kita melihat dua konteks, spesific intervention dan sensitive intervention. Jadi, dua-duanya harus ditangani secara khusus," ungkap Suprayoga.
Lalu, terdapat 5 pilar yang dilakukan pemerintah. Di antaramya adalah komitmen dan aksi yang diwujudkan dengan penandatangan komitmen seluruh pemerintah daerah untuk menjalankan program percepatan penurunan angka stunting.
Pilar kedua adalah masalah perilaku masyarakat. Menurut Suprayoga, hal ini perlu ditangani secara spesifik. "Perubahan perilaku ini takes time. Kita enggak bisa hanya istilahnya membalikkan tangan, dalam hal ini perlu waktu. Yang harus kita lihat, penanganan stunting memang harus spesifik karakter dan kulturnya diperhatikan," ucapnya.
Pilar ketiga yakni peran pemerintah melakukan konvergensi dari berbagai program. Pilar keempat adalah pemberian gizi kepada anak. Pilar kelima adalah monitoring dan evaluasi.
"Jadi kenapa angka stunting tinggi, dimulai dari kenyataan di lapangan, karakteristik di lapangan, serta kaitannya dengan mengubah perilaku yang sangat perlu waktu dan kita harus telaten untuk bisa mengawal ini semua," imbuhnya.