Bagikan:

JAKARTA - Salah satu dasar pembangunan pembangkit listrik dalam proyek nasional penyediaan energi listrik 35.000 MW adalah asumsi pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen ke atas. Pandemi kemudian menghempaskan pertumbuhan itu.

Meski demikian, diyakini sektor industri akan tumbuh kembali positif (rebound) segera pandemi usai. Ketersediaan energi listrik dinilai banyak kalangan, krusial untuk mengantisipasi peningkatan investasi dan laju ekonomi tersebut.

"Jika pandemi usai, industri tumbuh, aktivitas masyarakat pulih, konsumsi listrik pasti dengan cepat akan pulih dan bahkan naik," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro, Jumat 29 Januari. 

Dia menyarankan pemerintah untuk merampungkan pelaksanaan proyek 35.000 MW, demi menjaga ketersediaan listrik nantinya. Komaidi mengutarakan, adanya penurunan demand terhadap listrik, lebih disebabkan pandemi dan pembatasan yang berimbas terhadap banyak sektor ekonomi. 

Adanya kondisi dunia usaha yang membaik usai vaksinasi di tahun ini, menuntut ketersediaan listrik cukup. Rencana pemerintah yang ingin menghentikan pembangunan PLTU dengan total daya 15,5 GW pada RUPTL 2021-2030, dinilainya harus dikoreksi secara moderat.

Tren Membaik

Kementerian Perindustrian mengamini ada tren perbaikan investasi dan proyeksi lonjakan pascapandemi. Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Iklim Usaha dan Investasi Imam Haryono mengakui, sepanjang 2020 pertumbuhan sektor industri masih terkontraksi. Tetapi, dia menegaskan bahwa tren perbaikan tetap ada. Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan diperkirakan terkontraksi, alias minus 2,22 persen.

"Dari sisi persepsi pelaku industri, ada indikator penting yaitu PMI," ujarnya.

PMI atau Purchasing Managers Index sendiri adalah indikator ekonomi yang dibuat dengan melakukan survei terhadap sejumlah Purchasing Manager di berbagai sektor bisnis. Makin tinggi angka PMI, makin menunjukkan optimisme pelaku sektor bisnis tersebut terhadap prospek perekonomian ke depan.  

Indeks PMI Indonesia memang terus membaik sejak September. Di Desember, PMI naik signifikan menjadi 51,3. Imam menyebutkan tren ekspansi sektor industri dan peningkatan nilai PMI adalah modal penting dalam menggenjot pertumbuhan sektor industri di tahun 2021.

"Pada 2021, diproyeksikan semua subsektor industri mampu tumbuh positif," imbuh Imam.

Bergantung PLTU

Kondisi pandemi COVID-19 yang menekan pertumbuhan sektor manufaktur nampaknya tidak banyak mempengaruhi sisi investasi di sektor ini. Kontraksi investasi di Indonesia cukup rendah bila dibandingkan negara ASEAN lainnya di tengah pandemi. Terdapat rencana relokasi beberapa pabrik dari China yang membuktikan bahwa Indonesia menjadi salah satu destinasi investasi pasca pandemi COVID-19.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pada Januari-Desember 2020, realisasi investasi sektor industri mencapai Rp272,9 triliun. Angka ini menyumbang 33 persen dari total nilai investasi nasional yang mencapai Rp826,3 triliun.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang pun menargetkan realisasi penanaman modal di sektor industri manufaktur pada tahun 2021 mencapai Rp323,56 triliun, naik 18,56 persen dari realisasi 2020 sebesar Rp272,9 triliun.

Optimisme ini didukung dengan implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dan perbaikan perekonomian dunia pasca-vaksinasi. Karenanya, semua infrastruktur yang dibutuhkan, termasuk listrik harus terpenuhi dengan pasokan yang stabill.

Sementara, Anggota Komisi VII DPR Mulyanto menyebutkan permintaan listrik sebelum COVID-19 hanya tumbuh di bawah 5 persen. Angkanya semakin merosot setelah musibah COVID-19 melanda. Di tengah kondisi surplus listrik yang berdampak pada keuangan PLN, ia menilai bahwa kebutuhan terhadap PLTU tidak terhindarkan. Selain biaya murah, terdapat alasan lain berupa cadangan batu bara yang melimpah. 

Mengutip data triwulan III 2020, beban bahan bakar listrik PLN (non-IPP) masing-masing untuk air Rp23/kWh, batu bara Rp419 per kWh, panas bumi Rp832/kWh, gas Rp1.035/kWh, dan BBM Rp1.878 Rp/kWh. Menilik data tersebut, setelah energi air, sumber energi batu bara adalah yang termurah.

Senada dengan Komaidi, Mulyanto sepakat bahwa proyek 35.000 MW harus tetap jalan. Namun, rescheduling melihat dinamika ekonomi, perlu dilakukan.