Bagikan:

JAKARTA - Rancangan peraturan daerah (raperda) DKI Jakarta mengenai kawasan tanpa rokok (KTR) kembali diusulkan untuk dibahas pada tahun 2020. 

Raperda ini pernah diusulkan beberapa kali pada tahun sebelumnya. Namun, bertepatan dengan musim pemilihan umum 2019 dan pergantian anggota DPRD periode 2014-2019 dan 2019-2024, pembahasan raperda ini tak sempat diselesaikan. 

Raperda KTR bakal jadi salah satu dari 12 raperda prioritas 2020. Usulan raperda ini muncul dari Pemprov DKI, Fraksi Partai Golkar, PKS dan PSI.

Wakil Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Dedi Supriadi menjelaskan, pertimbangan masuknya raperda KTR karena aturan ini bersentuhan langsung dengan masyarakat. 

"Perda sebelumnya sebenarnya sudah mengatur tentang pencegahan pencemaran udara. Tapi, memang tidak secara khusus mengatur tentang limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang bisa dimasukkan di sini (raperda KTR)," ucap Dedi di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Rabu, 20 November 2019.

Dedi sadar, tak bisa melarang penggunaan rokok bagi masyarakat. Karenanya, dalam raperda ini akan mengatur bagaimana supaya merokok tidak menghilangkan hak orang menghirup udara sehat. Caranya, dengan mengatur kawasan merokok pada area publik dan ruang terbuka. Tujuannya agar asap rokok tidak mencemari orang lain. 

"Kita melihat masyarakat sangat menunggu (raperda) ini. Kita juga yakin, teman-teman yang merokok juga memahami pentingnya aturan," ucapnya. 

Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Bapemperda, peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Eva Rosita mendukung penuh raperda KTR yang bakal dibahas tahun depan. 

Eva mengakui pihaknya sudah mendorong rancangan perda ini sejak tahun 2010. Alasannya, mereka menyadari semakin banyak anak-anak yang mencoba merokok. 

"Perokok anak pada tahun 2013 sebanyak 7,3 persen dan pada 2018 naik menjadi 9,1 persen. Perlu aturan khusus agar bisa ditegakkan agar anak-anak dan perokok pasif terlindungi," kata Eva. 

Dihubungi terpisah, Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo sebenarnya juga mendorong penerbitan peraturan daerah tentang KTR. Namun, ia memiliki catatan khusus kepada pemerintah daerah soal kesetaraan hak bagi para perokok, minimal ada tempat untuk merokok baik dalam ruangan atau terbuka.

"Perda KTR harus mengakomodir semua pihak. Kalau Perda yang dibangun hanya menonjolkan ancaman dan sanksi agar orang agar tidak merokok sembarangan, tapi tidak ditegaskan bahwa ketersediaan ruang merokok harus ada di banyak tempat, aturannya enggak akan berjalan efektif," ujar Aditia kepada VOI.

Ilustrasi (Unsplash)

Ia mencontohkan, misalnya pada gedung tinggi, pengelola gedung harus menyediakan setidaknya satu ruangan khusus merokok tiap 5 sampai 10 lantai. Hal ini bisa mencegah perokok mencuri kesempatan merokok di tempat tersembunyi. "Bisa saja di ruang tertutup merokok lalu dipasang heksos untuk menjaga sirkulasi udara. Fleksibel sih," kata dia. 

Aditia sadar, pada Pasal 115 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyebutkan penetapan kawasan tanpa rokok itu wajib dilakukan oleh pemerintah daerah. 

"Itu yang sebenarnya belum diakomodir oleh pemerintah daerah. Mereka hanya memberikan sanksi bagi konsumen yang merokok di KTR, mereka enggak mau memberikan sanksi pada pengelola tempat yang tidak menyediakan ruang," tutup dia.