DENPASAR - Kepala Ombudsman Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti meminta agar rencana pemerintah daerah untuk memungut retribusi ke wisatawan mancanegara sebesar Rp150.000 atau 10 dolar AS terlebih dahulu disosialisasikan jika mekanismenya telah ditentukan.
“Kita dorong juga bagaimana aturan yang baru mekanismenya benar-benar tersosialisasi dulu dengan baik sebelum diterapkan, jangan sampai setelah diterapkan ada pertanyaan-pertanyaan dan terjadi komplain karena ini kan menyangkut warga negara di berbagai negara,” kata dia di Denpasar dilansir ANTARA, Jumat, 21 Juli.
Rencana pungutan retribusi kepada wisatawan mancanegara sekarang berada pada tahap penyusunan raperda antara Gubernur dan DPRD Bali, karena tujuan dari pungutan ini untuk pelindungan kebudayaan dan lingkungan alam Bali.
Untuk memastikan tak ada permasalahan terkait pungutan retribusi tersebut di kemudian hari, Ombudsman Bali meminta pemerintah betul-betul siap.
Selain sosialisasi sebelum penerapan, juga harus jelas hukumnya, petunjuk teknis, prosedur pungutan, petugas pelaksana, tata kelola hingga peruntukan hasil pungutannya, kata Sri.
“Jadi disiapkan sistem yang transparan, kalau bisa daring lebih baik lagi karena menciptakan transparansi, kemudian pembayaran lewat pintu apa. Kalau bisa terintegrasi jangan sampai lewat banyak pintu karena pengawasannya agak sulit,” ujarnya.
Nantinya apabila ada keluhan dari wisatawan mancanegara, Ombudsman Bali mengaku siap menerima laporan untuk ditindaklanjuti dengan persyaratan kepemilikan Kitas atau Kitap sebagai syarat pelaporan.
BACA JUGA:
Meski kebijakan pungutan retribusi Rp150.000 belum sah, selama ini Ombudsman Bali telah terbiasa menerima aduan dari WNA, umumnya yang tercatat mengenai laporan pelayanan kesehatan, perijinan, dan terkait layanan di lapas atau rudenim.
Selama ini beberapa keluhan WNA ke pihaknya dapat teratasi seperti berujung mediasi dan pemberian kompensasi perawatan kesehatan, namun ada juga yang tidak dapat dipenuhi sehingga penting untuk antisipasi terlebih dahulu.
“Memang ada juga seperti WNA yang ingin pelayanan seperti di negaranya, misalnya ingin kompensasi ganti rugi uang padahal di kita aturannya belum ada, makanya ada juga yang kami tidak bisa selesaikan,” tutur Sri.