Gubernur Bali Pastikan Tak Ada Defisit APBD 2023 Rp1,9 Triliun
Gubernur Bali Wayan Koster/DOK PEMPROV BALI

Bagikan:

DENPASAR - Gubernur Bali Wayan Koster memberikan klarifikasi mengenai kekurangan pendanaan atau defisit APBD Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2023 yang nilainya mencapai sekitar Rp1,9 triliun.

"Saat pandemi COVID-19 selama dua tahun, saya bisa mengelola fiskal dengan cermat. Apalagi sekarang situasinya sudah sangat sehat. Astungkara tidak akan defisit Rp1,9 triliun," kata Koster pada Sidang Paripurna DPRD Bali di Denpasar dilansir ANTARA, Senin, 17 Juli.

Sebelumnya muncul surat edaran yang ditandatangani Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra Nomor 5232 Tahun 2023 tentang Pengendalian Pelaksanaan Belanja Daerah pada APBD Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2023.

Dalam surat tersebut disampaikan dengan memperhatikan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah sampai dengan 5 Juli 2023 maka proyeksi defisit APBD sampai dengan Desember 2023 sebesar Rp1,92 triliun.

Rinciannya, defisit sebesar Rp1,85 triliun lebih yang bersumber dari proyeksi realisasi pendapatan daerah sebesar Rp5,66 miliar, sedangkan proyeksi realisasi belanja daerah sebesar Rp7,52 triliun.

Selanjutnya juga kekurangan pembiayaan sebesar Rp65,06 miliar dihitung dari proyeksi realisasi penerimaan pembiayaan sebesar Rp330,13 miliar, sedangkan proyeksi realisasi pengeluaran pembiayaan Rp395,20 miliar.

Dengan demikian total kekurangan pendanaan yang tercantum dalam surat edaran tersebut sebesar Rp1,92 triliun lebih.

Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster dalam klarifikasinya menyampaikan penjelasan APBD 2023 berisi target pendapatan daerah sebesar Rp6,9 triliun bersumber dari pendapatan asli daerah Rp4,7 triliun, dan dana transfer dari pusat Rp2,1 triliun.

Sedangkan belanja daerah ditetapkan Rp7,88 triliun yang mencakup belanja operasional Rp4,5 triliun, belanja modal Rp1,4 triliun, belanja transfer ke kabupaten/kota Rp1,9 triliun, dan lain-lain kecil.

"Dari struktur pendapatan daerah sebesar Rp6,9 triliun dan belanja daerah Rp7,9 triliun terdapat perencanaan defisit Rp1 triliun," kata Koster.

Mengenai perkiraan realisasinya, dari pendapatan daerah targetnya Rp4,7 triliun, sampai dengan 14 Juli realisasinya sudah mencapai Rp2,38 triliun (lebih 50 persen dari target).

Pendapatan yang terbesar dari pajak kendaraan bermotor yang realisasinya mencapai 57 persen dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 1 untuk kendaraan baru mencapai 96 persen."Ini menunjukkan ekonomi sudah pulih karena semakin banyak orang beli mobil," ucapnya.

Koster menambahkan pendapatan harian dari Januari sampai Juni sebesar Rp14,5 miliar. Kemudian naik pada Juli menjadi Rp16 miliar per hari.

Dengan sisa waktu hingga Desember 2023 atau sekitar 166 hari, jika diasumsikan pendapatan stagnan Rp16 miliar per hari maka berpotensi mendapatkan pendapatan daerah sebesar Rp2,6 triliun.

Dengan pendapatan daerah Rp2,38 triliun (Januari hingga 14 Juli) ditambah Rp2,6 triliun (pertengahan Juli-Desember), kata Koster, maka berpotensi mencapai pendapatan sekitar Rp5 triliun atau melebihi dari target Rp4,7 triliun.

"Clear, ini baru bersumber dari PKB dan BBNKB, belum lagi bersumber dari yang lain," katanya.

Koster memastikan dana transfer sebesar Rp2,1 triliun dari APBN pasti terealisasi. Menurut dia, jangankan sekarang karena pada saat pandemi COVID-19, dari 2020-2022 selalu realisasinya 100 persen dari APBN. Apalagi sekarang ekonominya makin membaik jadi Rp2,1 triliun pasti terealisasi.

"Jadi, aljabarnya mudah karena saya ini tiga periode di DPR 'ngurusi anggaran. Jadi, total pendapatannya itu perkiraannya dari Rp4,6 triliun-Rp4,7 triliun terburuknya dari PAD dan dari APBN Rp2,1 triliun sehingga minimum pendapatan daerah Rp6,7-6,8 triliun," katanya.

Kemudian terkait belanja daerah yang dirancang besarnya Rp7,9 triliun, ujar Koster, juga pemerintah daerah tidak pernah merealisasikan hingga 100 persen karena ada kendala dari sisi pesanan tidak terpenuhi dan ada juga yang situasi lapangan tidak memungkinkan.

Secara empiris, Koster mengemukakan realisasi belanja itu 90 hingga 95 persen. Kalau 90 persen itu berarti Rp7,1 triliun, atau kalau tertinggi 95 persen berarti Rp7,5 triliun.

"Bandingkan sekarang pendapatan Rp6,8 triliun versus belanja riil Rp7,5 triliun. Artinya, defisit itu minimum Rp300-700 miliar. Jadi, bukan lagi Rp1 triliun, apalagi Rp1,9 triliun. Jadi defisit Rp1,9 triliun itu salah aljabar yang bikin. Ini karena aljabarnya 'nggak lengkap," ujarnya.

Terkait defisit sebesar Rp300 miliar hingga Rp700 miliar, Koster juga memiliki skema untuk menutup defisit, di antaranya pendapatan dari Rumah Sakit Bali Mandara dan Rumah Sakit Mata Bali Mandara.

Kemudian bisa mengefisienkan anggaran yang non-prioritas bisa dikurangi sekitar Rp200 miliar. "Jadi, pada bulan Desember pasti klop. Saya pastikan klop," ucap Koster

Selain itu, Koster mengatakan Bali saat ini memiliki potensi penambahan pendapatan yang saat ini sedang berproses terkait penggunaan lahan di Nusa Dua yang akan disewa hingga 16 tahun ke depan dengan angka Rp51 miliar per tahun yang akan dibayar lunas di depan.

Selanjutnya juga ada kerja sama dengan pihak ketiga untuk zona komersial pada Pusat Kebudayaan Bali. "Saya pastikan tidak ada defisit. No, i'm sorry. Tidak sebodoh itulah saya ini," katanya.