Polresta Cirebon Ungkap 18 Kasus TPPO dengan 24 Tersangka
Kapolresta Cirebon Kombes Arif Budiman (ANTARA/Khaerul Izan)

Bagikan:

CIREBON - Kepolisian Resor Kota (Polresta) Cirebon, Jawa Barat, mengungkap 18 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan menetapkan 24 orang sebagai tersangka.

"Kami secara keseluruhan sudah mengungkap 18 kasus TPPO, selama adanya Satgas TPPO," kata Kapolresta Cirebon Kombes Arif Budiman dilansir ANTARA, Sabtu, 15 Juli.

Menurutnya dari 18 kasus yang berhasil diungkap terdapat 24 orang ditetapkan sebagai tersangka, karena terbukti melakukan perdagangan orang dengan modus memperkerjakan ke luar negeri.

Dia bersyukur atas kinerja satuannya yang berhasil mengungkap kasus TPPO, diberi apresiasi berupa pengharapan oleh Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo sebagai juara dua penegak hukum TPPO terbanyak.

"Alhamdulillah dari pengungkapan itu kami mendapatkan predikat sebagai juara dua penegakan hukum tingkat Polres se-Indonesia," tuturnya.

Arif mengatakan penghargaan menjadi suatu kebanggaan bagi seluruh personel Polresta Cirebon sehingga diharapkan dapat terus memotivasi seluruh personel Polresta Cirebon dan Polsek jajaran untuk meningkatkan kualitas dalam melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat.

"Ini merupakan kehormatan dan kebanggaan bagi seluruh personel Polresta Cirebon karena mendapat apresiasi serta penghargaan dari Bapak Kapolri. Tentunya, ini akan menambah motivasi dan semangat kami dalam melaksanakan tugas untuk mendedikasikan kinerja terbaik bagi masyarakat," katanya.

Arif mengatakan hingga bulan Juli 2023, Polresta Cirebon sudah mengungkap sebanyak 18 kasus TPPO yang berada di wilayah hukumnya dengan menetapkan 24 orang sebagai tersangka.

Kasus TPPO yang ditangani oleh Satreskrim Polresta Cirebon rerata merupakan penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) yang tidak sesuai prosedur, bahkan ilegal.

Dia menjelaskan dari kasus tersebut, ada korban yang meninggal dunia, sakit keras dan lainnya, mereka ditempatkan di negara konflik serta yang sudah tidak lagi diperbolehkan oleh Pemerintah Indonesia.

"Banyak modus yang digunakan mulai dari perekrutan, penampungan, dan dikirimkan tidak sesuai negara tujuan, serta menyalahi proses yang ada, sehingga merugikan korbannya," katanya.