Bagikan:

JAKARTA - Pengawasan dari lembaga legislatif terhadap penyelenggara ibadah haji 2023 harusnya mampu memberikan solutif terhadap berbagai kendala yang dialami jemaah haji Indonesia. Apalagi pada tahun ini, terjadi berbagai kendala penyelenggaraan haji yang menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah.

"Kunjungan DPR untuk pelaksanaan ibadah haji itu sudah sangat tepat karena pengawasan DPR terhadap jemaah haji, baik jemaah haji khusus maupun reguler sangat penting," kata Sekjen Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Farid Aljawi, Jumat 30 Juni.

Pengawasan diperlukan agar DPR tahu situasi dan kondisi yang terjadi di Tanah Suci. Jadi masukan untuk Pemerintah dapat menjadi poin penting sebagai pijakan untuk perbaikan penyelenggara ibadah haji pada tahun-tahun berikutnya.

Pasalnya, ada berbagai kendala yang dihadapi jemaah haji Indonesia. Antara lain pelayanan selama proses ibadah haji yang disebabkan oleh bertambahnya kuota haji.

"Karena tahun ini adalah tahun pertama pasca pandemi COVID dan kuota yang diberikan full. Jika tidak memastikan dengan baik maka layanannya memang sangat buruk sehingga berdampak pada masyarakat dalam hal ini, haji reguler dan haji khusus," ungkap Farid.

Persoalan sarana transportasi bagi jemaah haji juga diketahui menjadi sorotan DPR RI mengingat jemaah haji Indonesia sempat telantar di Muzdalifah usai melaksanakan wukuf di Arafah. Dengan kehadiran tim pengawas haji DPR di lokasi, kata Farid, hal tersebut dapat langsung dikomunikasikan kepada Pemerintah sebagai penyelenggara ibadah haji.

"Termasuk juga kendala transportasi layanan antar tempat mulai dari penjemputan di Arafah kemudian ke Muzdalifah serta Muzdalifah ke Mina," jelasnya.

Di sisi lain, Farid juga menyoroti banyaknya pendatang di Arab Saudi yang menggunakan visa non-haji namun memanfaatkan fasilitas bagi jemaah haji. Tentunya ini berdampak terhadap jemaah yang memang datang untuk melaksanakan ibadah haji.

"Ada yang menggunakan visa ziarah yang mereka peruntukannya tidak semestinya bisa melaksanakan ibadah haji. Pendaftar visa non haji ikut masuk dengan menggunakan tasrih di berbagai maktab yang disediakan untuk haji reguler dan haji khusus,” ucap Farid.

"Walaupun Pemerintah Saudi sendiri memberikan visa terkait hal tersebut namun visa tersebut tidak seyogyanya dilakukan untuk ibadah haji. Peran DPR di sini bisa menjembatani karena ini mengganggu sistem Pemerintah,” sambungnya.

Menurut Farid, ada banyak peziarah yang memanfaatkan fasilitas haji, seperti menggunakan tenda jemaah haji di Mina. Bahkan ini termasuk dari masyarakat Indonesia sendiri.

Dengan kehadiran DPR, permasalahan ini bisa menjadi catatan sehingga Pemerintah bisa memperbaiki kebijakan untuk pelaksanaan haji ke depan. Sebab DPR akan membahas kendala-kendala yang ditemukan selama pelaksanan ibadah haji di Tanah Suci ke berbagai pihak terkait.

“Jadi DPR, terutama dari Komisi VIII DPR bisa berkoordinasi dengan Kemenag, Kemenkum HAM dalam hal imigrasi, lalu kemudian dengan Kemenhub menyangkut airlines, dan dengan Kemenkes sehingga pelaksanaan ibadah haji ini tidak dilihat dari sisi pelaksanaannya saja namun semua dimulai dari sisi pengelolaannya,” papar Farid.

Evaluasi yang diberikan DPR RI pun akan sangat berperan dalam penyusunan rencana pelaksanaan ibadah haji untuk tahun-tahun selanjutnya. Dengan begitu, menurut Farid, pengawasan dapat dilaksanakan sejak masa persiapan.

“Sejak lebih awal, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan visa, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan kuota. Itu dikaji dari evaluasi yang salah satunya dilakukan oleh DPR, sehingga peran DPR pada fungsi pengawasan bukan hanya saat pelaksanaan tapi juga dari saat perancanaan,” urainya.

“Termasuk seperti kapasitas tenda di Mina. Karena kapasitas Mina ini berdasarkan perhitungan satu tenda kapasitas sekitar 3.500 untuk Maktab 11 sampai 16. Ini ternyata kapasitasnya sekitar 20.600, tentu ini tidak sebanding dengan jumlah kuota yang ada,” terang Farid.

“Dari kuota yang ada 18 ribu saja nggak cukup karena ada jemaah haji dari Malaysia dan Brunei yang masuk maktab kita. Ini membuat kapasitas Mina menjadi over sehingga mengganggu kenyamanan jemaah haji Indonesia,” lanjutnya.

Lebih lanjut Farid berharap, pengawasan langsung oleh DPR pada pelaksanaan haji tahun ini diharapkan memberikan dampak signifikan dalam penyelenggara haji tanah air di masa yang akan datang.

“Tentunya ini menjadi tanggung jawab kita bersama dalam rangka bernegosiasi kepada pihak-pihak yang ada di Arab Saudi,” sebut Farid.

“Jangan sampai masalahnya nanti muncul misalnya dari haji khusus ya pasti kenanya juga ke Pemerintah atau dari haji reguler itu sendiri yang memang mereka sama-sama menggunakan vendor yang sama di Arab Saudi,” imbuhnya.

Sebelumnya diberitakan, Ketua DPR RI Puan Maharani menekankan agar Pemerintah memiliki strategi antisipatif dalam menghadapi situasi darurat saat pelaksanaan haji.

"Saya memahami Pemerintah dan petugas haji sudah berusaha memberikan pelayanan yang terbaik, tapi harus ada upaya perbaikan agar ke depan penyelanggaraan haji bisa lebih baik dan tidak membuat jemaah haji kita kesulitan," kata Puan.

Penyelenggara haji perlu memiliki sistem manajemen krisis untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak bisa diprediksi. Puan mencontohkan soal jemaah haji yang telantar di Muzdalifah karena terlambatnya akomodasi transportasi.

"Kejadian di Muzdalifah memang di luar kendali. Kami berharap ke depan perbaiki manajemen antar jemput jemaah, termasuk untuk makanan. Bagaimana kita mengantisipasi agar dalam kondisi sulit yang tak terhindarkan, jemaah tetap nyaman dan aman,” ucap mantan Menko PMK tersebut.

Puan berharap Pemerintah sigap mencari jalan keluar jika terjadi situasi darurat sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terburuk. Seperti situasi kepadatan lalu lintas yang kerap terjadi saat musim haji, serta kondisi perbekalan para jemaah yang menipis pasca wukuf di Arafah.