Bagikan:

JAKARTA - DPRD Kota Yogyakarta mengajukan usulan pembahasan rancangan peraturan daerah yang ditujukan untuk meningkatkan peran pelaku ekonomi besar, khususnya toko swalayan atau toko modern untuk mendukung upaya pembinaan terhadap pelaku usaha kecil mikro di kota tersebut.

“Selama ini memang sudah ada aturan kemitraan antara toko jejaring dengan pelaku usaha mikro kecil yang ada di sekitarnya. Namun, peran pelaku usaha besar ini perlu terus ditingkatkan,” kata Sekretaris Komisi B DPRD Kota Yogyakarta Rifki Listianto di Yogyakarta, dilansir Antara, Rabu, 27 Januari.

Oleh karenanya, lanjut Rifki, DPRD Kota Yogyakarta mengusulkan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang penataan toko swalayan.

Salah satu isu yang akan menjadi bagian dari pembahasan, adalah pengadaan gudang bahan kebutuhan pokok berskala besar, dengan harapan pedagang kecil atau toko kelontong bisa berbelanja barang dari gudang tersebut dengan harga yang bersaing.

Pengadaan gudang, lanjut dia, bisa dikerjasamakan dengan pelaku usaha toko jejaring sehingga ada kesamaan harga atas suatu barang. “Dengan demikian, harga barang yang dijual di toko kelontong atau di pelaku UKM ini pun setidaknya sama atau justru lebih murah dibanding toko modern,” katanya.

Selama ini, lanjut dia, harga barang di toko kelontong yang jauh lebih tinggi dibanding harga barang di toko modern atau jejaring menjadikan toko yang dikelola oleh pelaku usaha kecil tersebut tidak mampu bersaing dengan toko modern.

Sedangkan mengenai penyediaan tempat untuk pelaku UKM menjual barang produksi mereka di toko jejaring akan dijadikan sebagai salah satu syarat untuk mengajukan izin usaha toko swalayan (IUTS).

Sebelumnya, DPRD Kota Yogyakarta berencana mengajukan raperda pembatasan toko modern atau toko jejaring. Namun, rencana tersebut diubah setelah UU Cipta Kerja disahkan oleh pemerintah.

“Konsep awal raperda yang akan kami ajukan adalah membatasi dan mengatur keberadaan toko modern, mulai dari jumlah, jam operasional, letak, kemitraan, tenaga kerja, hingga barang yang diperjualbelikan,” katanya.

Namun demikian, Rifki menyebut, naskah akademik untuk raperda harus diubah total agar tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi serta tidak menyalahi batas kewenangan pemerintah daerah.

“Pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan untuk pembinaan dan pengawasan. Makanya, raperda pun kami ubah dan fokus pada upaya pembinaan untuk pengembangan UKM melalui penguatan peran toko modern,” katanya.

Jika toko modern atau swalayan tidak memenuhi peran mereka untuk mendukung penguatan pelaku UKM, maka bisa dikenai sanksi. “Di perda sangat dimungkinkan untuk mengatur mengenai pemberian sanksi,” katanya.

Sebelumnya, Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki aturan untuk pengendalian jumlah toko berjejaring melalui Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 79 Tahun 2010.

Namun, peraturan tersebut dicabut dan diganti dengan Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 56 Tahun 2018 tentang penataan toko modern tanpa mengatur pembatasan jumlah maksimal.

Saat ini, pengajuan izin untuk toko modern dilakukan secara daring melalui aplikasi online single submission (OSS) untuk penerbitan nomor induk berusaha yang berlaku nasional dan cukup dilanjutkan dengan pengajuan IUTS ke pemerintah daerah setempat.