Bagikan:

MALUKU - Provinsi Maluku Utara (Malut) setiap tahun memberangkatkan jemaah calon haji (JCH) dari provinsi ini ke Tanah Suci melalui embarkasi haji Makassar. Untuk keperluan ini, pada musim haji 2023, Pemprov Malut harus mengeluarkan biaya embarkasi sebanyak Rp6 miliar.

Biaya embarkasi haji itu seharusnya menjadi beban JCH, tetapi Pemprov Malut dan seluruh pemerintah kabupaten/kota di provinsi kepulauan ini sepakat mengalokasikan melalui APBD, sebagai wujud kepedulian terhadap para JCH, yang sebagian di antaranya dari kalangan kurang mampu.

Berangkat ke Tanah Suci melalui embarkasi haji Makassar, bagi JCH dari sebagian besar kabupaten kota di provinsi berpenduduk 1,4 juta jiwa ini menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi JCH berusia lanjut, memiliki penyakit bawaan, dan menggunakan kursi roda.

JCH dari Kabupaten Pulau Taliabo dan Kabupaten Kepulauan Sula, misalnya, sebelum diterbangkan dari Ternate ke Makassar, mereka harus menggunakan transportasi laut ke Ternate lebih dari 15 jam, yang dalam perjalanan sering menghadapi gelombang tinggi.

Lain lagi bagi JCH dari sejumlah kabupaten di daratan Pulau Halmahera, seperti Kabupaten Halmahera Timur. JCH dari daerah ini harus menggunakan angkutan darat selama 7 jam ke Sofifi kemudian melanjutkan dengan angkutan laut ke Ternate dan diberangkatkan ke embarkasi haji Makassar setelah menginap semalam di Asrama Haji Ternate.

Pemprov Malut telah mengusulkan Ternate menjadi embarkasi haji ke Pemerintah Pusat, agar JCH dari 10 kabupaten/kota di provinsi penghasil rempah ini diberangkatkan ke Tanah Suci langsung dari Ternate, agar tidak lagi mengeluarkan biaya embarkasi haji.

Dengan demikian, anggaran biaya embarkasi haji sebesar Rp6 miliar yang dikeluarkan setiap pemberangkatan JCH Malut melalui embarkasi haji Makassar dapat dialihkan untuk program lain, misalnya, peningkatan pendapatan masyarakat kurang mampu agar mereka bisa menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Selain itu, jika Ternate menjadi embarkasi haji juga akan menggerakkan aktivitas ekonomi Malut, khususnya Ternate pada setiap musim haji, misalnya, usaha penyediaan makanan untuk JCH di asrama haji dan angkutan JCH ke bandara.

Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba sampai kini terus meyakinkan Pemerintah Pusat, termasuk Presiden Joko Widodo saat berkunjung di Malut beberapa waktu lalu, mengenai perlunya Ternate menjadi embarkasi haji, yang nantinya tidak hanya dimanfaatkan JCH Malut, tetapi juga dari sejumlah provinsi tetangga.

Provinsi tetangga seperti Sulawesi Utara, Maluku, dan lima provinsi di wilayah Papua akan lebih memilih memberangkatkan JCH dari daerahnya ke Tanah Suci melalui embarkasi haji Ternate karena lebih dekat dan biaya pesawat dari dan ke Ternate juga lebih murah dibandingkan ke Makassar.

Berdasarkan laporan Antara, di Indonesia ada 14 daerah embarkasi haji, sebagian besar berada di wilayah Jawa dan Sumatera, sedangkan di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua hanya ada di Makassar, yang selama ini dimanfaatkan JCH dari ke tiga wilayah itu untuk berangkat ke Tanah Suci.

Kondisi Bandara

Menjadikan Ternate embarkasi haji, sebenarnya sejak awal telah mendapat lampu hijau dari Kementerian Agama. Akan tetapi, untuk merealisasikannya terbentur dengan kondisi Bandara Sultan Babullah Ternate yang dinilai belum memenuhi syarat menjadi bandara embarkasi haji.

Bandara Sultan Babullah Ternate yang terletak di bagian utara kaki Gunung Gamalama itu dinilai belum memungkinkan didarati pesawat berbadan lebar berkapasitas lebih dari 300 penumpang atau satu kelompok terbang (kloter), yang selama ini digunakan dalam pengangkutan JCH ke Tanah Suci.

Oleh karena itu, Kakanwil Kementerian Agama Malut, Amar Manaf, menyarankan Pemprov Malut membenahi bandara Sultan Babullah Ternate, agar sesuai dengan persyaratan sebagai bandara embarkasi haji sehingga Ternate dapat dijadikan embarkasi haji.

Ihwal asrama haji tidak ada masalah karena kapasitas asrama haji di Ternate tercatat 500 tempat tidur yang sudah sesuai dengan syarat untuk menjadi asrama haji embarkasi. Kalaupun dibutuhkan tambahan, Kementrian Agama juga siap membangunnya.

Begitu pula fasilitas rumah sakit di Ternate untuk perawatan JCH yang sakit, juga tersedia cukup banyak, salah satunya RSUD Chasan Boessoerie dengan klasifikasi tipe B, yang memiliki fasilitas medis dan tenaga medis memadai, termasuk dokter spesialis.

Pembenahan Bandara Sultan Babullah Ternate, sesuai laporan dari Dinas Perhubungan Malut, sudah masuk dalam program strategis nasional dengan prioritas penambahan panjang landasan dari 2.300 meter menjadi minimal 2.800 meter agar bisa didarati pesawat berbadan lebar, seperti pesawat pengangkut JCH ke Tanah Suci.

Seharusnya pembenahan bandara Sultan Babullah Ternate itu sudah dilaksanakan tetapi ditangguhkan karena adanya pandemi COVID-19 yang mengakibatkan anggaran Pemerintah Pusat lebih banyak diprioritaskan untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.

Pembenahan Bandara Sultan Babullah Ternate tidak hanya untuk kepentingan sebagai bandara embarkasi haji, tetapi juga menjadi bandara internasional guna mendukung pengembangan sektor pariwisata dan industri di Malut.

Bagi Sultan Ternate Hidayahtullah Sjah, menjadikan Ternate sebagai embarkasi haji merupakan keniscayaan, terutama jika dikaitkan dengan peran Ternate pada masa lampau yang menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Indonesia Timur bahkan sampai ke wilayah Filipina.

Dengan peran tersebut, seharusnya Ternate tidak hanya menjadi embarkasi haji, tetapi juga mendapat kuota haji yang banyak. Kuota haji Malut saat ini, yang hanya 1.076 orang, sangat sedikit dibandingkan dengan besarnya minat masyarakat di provinsi ini yang ingin menunaikan ibadah haji.

Daftar tunggu di seluruh kabupaten/kota di Malut saat ini sangat banyak. Bahkan, di Kota Ternate daftar tunggunya lebih dari 3.000 orang.

Mereka harus menunggu hingga 21 tahun untuk diberangkatkan semuanya jika kuota haji untuk Ternate tetap hanya 260 orang.