Menakar Urgensi <i>Virtual Police</i> ala Komjen Listyo Sigit
Komjen Pol.Drs. Listyo Sigit Prabowo saat melakukan fit and proper test di Komisi III DPR (Foto: Humas Polri)

Bagikan:

JAKARTA - Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo telah disetujui oleh DPR RI menjadi Kapolri baru pengganti Jenderal Idham Azis yang akan pensiun. Dia membawa sejumlah konsep yang bakal diterapkan di Polri salah satunya virtual police, yang kemudian dipertanyakan urgensinya.

Ketukan palu Ketua DPR RI Puan Maharani dan tepuk tangan anggota DPR RI yang hadir di rapat paripurna pada Kamis, 21 Januari kemarin menjadi tanda disetujuinya Komjen Listyo Sigit sebagai Kapolri baru pengganti Idham Azis. Keputusan ini diberikan setelah Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni membacakan hasil uji kelayakan dan kepatutan yang telah dilakukan sehari sebelumnya, Rabu, 20 Januari.

Dalam uji kelayakan dan kepatutan ini, Listyo memang mendapat pujian karena makalahnya yang dianggap begitu komperhensif. Bahkan, dia sempat disebut sebagai calon Kapolri milenial karena dalam pemaparannya dia menyinggung konsep pembaruan teknologi di tubuh Korps Bhayangkara hingga pendekatan digital yang salah satunya dilakukan melalui virtual police.

Berbeda dengan polisi siber atau cyber police yang sifatnya memberikan hukuman, virtual police yang bakal dihadirkan oleh Listyo ini nantinya akan bertugas memberikan edukasi kepada warganet atau masyarakat pada umumnya. Adapun pelaksanaan program ini nantinya akan menggandeng influencer.

"Dengan virtual police maka lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat edukasi, pembelajaran melibatkan masyarakat, melibatkan influencer yang memiliki followers cukup banyak," kata Listyo saat uji kelayakan dan kepatutan di hadapan Komisi III DPR RI.

Nantinya, virtual police ini bakal mengajarkan warganet bagaimana etika dan budaya yang baik dalam penggunaan sosial media. Ini sekaligus mengoptimalkan kampanye siber.

Konsep virtual police ini menjadi sorotan peneliti The Indonesian Institute Center for Public Policy Research Rifqi Rachman. Pendekatan virtual police melalui edukasi yang berbeda dengan polisi siber ini dianggapnya tidak bisa menjadi solusi untuk memperbaiki etika warganet di media sosial, sehingga dia mempertanyakan urgensinya.

"Ini menimbulkan pertanyaan lebih jauh soal urgensi pembentukan virtual police. Karena, ketika pendekatan melalui cyber police tidak mampu memasuki ranah etis di ruang digital, pembentukan virtual police dengan pendekatan edukasi senyatanya juga tidak dapat langsung menjadi jawaban," kata Rifqi melalui keterangannya yang dikutip VOI, Jumat, 22 Januari.

Apalagi, saat ini aksi pengintaian atau surveillance di ruang digital yang dilakukan oleh tim kepolisian saat ini menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Sehingga, peneliti ini menilai polisi siber dan polisi virtual sangat mungkin mempersempit kebebasan warga utamanya di ruang digital.

Lebih lanjut, Rifqi juga mempertanyakan ruang lingkup edukasi yang dapat diberikan oleh polisi virtual ini. Sebab, tidak ada indikator yang pasti mengenai konsep berbudaya dan beretika baik dalam pemaparan Listyo ini.

"Sejauh mana ruang lingkup edukasi yang dapat diberikan oleh mereka (virtual police, red)? Hal ini tentu akan sangat sulit diterapkan karena konsep berbudaya dan beretika baik yang dijadikan pakem bermedia sosial dalam pemaparan Kapolri tidak memiliki indikator jelas," tegasnya.

"Jika Polri tidak segera memperjelas pakem ini maka kondisi penerapan yang rawan penyimpangan akan makin sulit untuk dihindarkan," imbuhnya.

Rifqi juga menilai virtual police tak bisa hanya mengandalkan influencer untuk membawa nilai budaya dan etika. Karena hal ini akan membawa dampak yang merugikan warganet secara keseluruhan seperti mendominasinya percakapan antara virtual police dan influencer yang menyebabkan narasi satu komando ini sulit untuk ditandingi dan akhirnya mengikis ruang digital.

Selain itu, kapasitas influencer juga dianggap membuat kampanye siber ini dapat berakhir negatif. Hal ini bahkan pernah terjadi saat pemerintah gencar mengajak pegiat sosial media dengan ratusan ribu hingga jutaan pengikut mengkampanyekan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

"Sehingga, secara ringkas keberadaan pengawas etika warga pengguna internet dalam bentuk virtual police ini tidak menjadi kebutuhan yang mendesak. Penguatan Ditpidsiber (Direktorat Tindak Pidana Siber) justru yang menjadi alternatif yang lebih realistis dan tepat jika memang tujuan Polri adalah menghadirkan keamanan pada pengguna internet di Indonesia dari aksi computer crime maupun computer related crime," ujarnya.

Virtual police ini bukanlah hal yang baru di dunia maya. Beberapa negara sudah menerapkannya terlebih dulu dan tiap negara memiliki cara serta metode yang berbeda dalam mewujudkan polisi virtual.

Sedangkan di Indonesia, baru Tulungagung saja yang sudah menerapkan program ini. Maka, untuk memperkaya gambaran, tim VOI mengumpulkan dari berbagai sumber bagaimana virtual police dari negara lain.

Virtual Beijing Police – Tiongkok

Tiongkok meluncurkan program Virtual Beijing Police pada tahun 2007. Sebagaimana petugas yang berjaga di kantor polisi, petugas bakal berjaga selama jam kerjanya di dalam situs resmi kepolisian Beijing untuk menerima aduan dari masyarakat.

Netizen cukup menekan gambar kartun dari dua polisi yang muncul di website jika ingin melaporkan informasi berbahaya atau situs pornografi. Setelah itu, netizen akan diminta untuk mengisi formulir dengan data-data yang dibutuhan agar laporannya bisa diproses.

“Nantinya, petugas bakal menghubungi kontak yang sudah disertakan dalam jangka waktu 30 menit setelah laporan dibuat,” ungkap Zhao Hongzhi, Kepala Departemen Internet Kepolisian Beijing, dilansir dari China Daily, Rabu, 20 Januari.

Virtual Police Station -  India

Bekerja sama dengan Commonwealth Human Rights Initiative (CHR(), kepolisian Rajasthan mengembangkan Virtual Police Station (VPS) atau kantor polisi virtual. Melalui VPS, masyarakat umum bisa “memasuki” kantor polisi secara virtual.

Masyarakat bisa memasuki setiap ruangan yang tersedia dalam pandangan 360 derajat. Nantinya, publik bisa mempelajari bagaimana proses dan prosedur hukum yang dijalankan petugas setiap harinya.

Selain itu, pengguna bisa mengamati lebih jelas barang-barang yang tersedia di ruangan. Contohnya seperti surat registrasi, bukti kejahatan, peralatan polisi, telepon, dan masih banyak lagi.

Karena terbosoan ini, pemerintah India pun menerapkan Virtual Police Station di beberapa provinsi. Antara lain Provinsi Odisha, Delhi, hingga Universitas Andhra.

Virtual Police Station – Brampton, Kanada

Berbeda dengan India yang mewujudkan VPS dalam bentuk website, Kepolisian Brampton memilih untuk menggunakan kios yang tersebar di beberapa titik.

Melalui kios tersebut, masyarakat mendapatkan akses langsung menuju nomor aduan kepolisian, yakni 24-7. Nantinya, masyarakat bisa melaporkan berbagai hal yang dilihat atau dialami -mulai dari kerusakan properti, komplain terhadap pengendara, kasus kehilangan.

Diluncurkan pada bulan November lalu, Virtual Police Station merupakan program Kepala Kepolisian Wilayah Peel, Brampton, Nishan Duraiappah. Menurutnya, virtual station merupakan cara untuk merangkul inovasi teknologi di bawah kepemimpinannya.

Polisi Virtual Tulungagung

Sebelum Komjen Listyo Sigit Prabowo mengemukan gagasannya dalam uji kepatutan dan kelayakan, Polres Tulungagung sudah lebih dulu meluncurkan polisi virtual. Diberi nama Pos Digital Astuti, layanan ini menghubungkan masyarakat dengan pihak kepolisian tanpa harus bertatap muka.

Untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan kepolisian, masyarakat cukup menggunakan pos digital yang terletak satu deretan dengan mesin ATM di Golden Swalayan Tulungagung. Dengan menekan tombol yang tersedia, maka pengguna bakal secara otomatis terhubung melalui video call dengan petugas jaga.

“Ini pertama di Indonesia, masyarakat bisa langsung tersambung denga petugas kita melalui video call, dan menanyakan informasi apa saja yang dibutuhkan,” ujar Kapolres Tulungagung, AKBP Eva Guna Pandia seperti dilansir dari Nusa Daily.