Bagikan:

JAKARTA - Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mulai mengkaji wacana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam forum diskusi (FGD).

Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto menjelaskan ada dua variabel/topik yang menjadi sorotan, yaitu kemungkinan adanya perubahan karakter perang dan hubungan sipil-militer dalam kerangka konsolidasi demokrasi.

“Kami baru memulai kajiannya nanti siang, focus group discussion-nya nanti tentang revisi Undang-Undang TNI. Yang kami kaji, pertama, apakah terjadi perubahan karakter perang, kalau karakter perang itu biasanya dikaji apakah ada tipe ancaman baru, apakah ada teknologi baru, kalau dua jawaban ini iya ada perubahan karakter perang, maka yang pertama disesuaikan doktrin pertahanan dan militer,” kata Gubernur Lemhannas dikutip ANTARA, Selasa, 23 Mei.

Tahapan selanjutnya, kata Widjajanto, jika doktrin pertahanan dan militer diyakini harus berubah karena karakter perangnya berubah, maka harus diuji regulasinya.

“Apakah regulasinya cocok dengan doktrin yang baru,” kata dia.

Variabel kedua yang menjadi topik pembahasan FGD (focus group discussion), Andi menyampaikan, terkait hubungan sipil dan militer yang saat ini juga telah diatur dalam UU TNI.

“Hal kedua yang aman kami kaji adalah apakah ada perubahan kualitas hubungan sipil-militer di Indonesia dalam rangka konsolidasi demokrasi. Dulu Undang-Undang Pertahanan, Undang-Undang TNI Tahun 2002, Tahun 2004, dibuat untuk mengantisipasi terjadinya perubahan hubungan sipil-militer dari negara otoritarian pada masa Orde Baru menjadi negara yang demokratis,” kata Gubernur Lemhannas.

Dia menyampaikan terkait itu, Lemhannas bersama para pakar, perwakilan dari Kementerian Pertahanan, dan Markas Besar (Mabes) TNI perlu menguji regulasi yang berlaku.

“Regulasi yang harus diuji misalnya bagaimana hubungan antara presiden, DPR, menteri pertahanan, panglima TNI, dan kepala staf. Apakah ini bisa diperkuat untuk konsolidasi demokrasi kita,” kata Widjajanto.

Menurut dia, jika ada perubahan hubungan sipil-militer, yang nantinya diketahui saat FGD, maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai penempatan prajurit TNI di organisasi/institusi sipil yang saat ini diatur dalam Pasal 47 UU TNI.

“Hubungan lain yang mau dikaji bagaimana TNI melaksanakan tugasnya, operasi militer, lalu itu tetap relevan dengan kebutuhan perubahan institusi sekarang seperti  (yang diatur) Pasal 47. Dalam Pasal 47 hanya mengatur penempatan (prajurit aktif) TNI di 10 organisasi, sementara organisasi atau institusi sipil berubah pesat dari 2004 ke 2023,” kata Widjajanto.

Beberapa institusi/lembaga sipil yang terbentuk setelah UU TNI disahkan dan berlaku, di antaranya Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman dan Investasi, Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

“Dalam Pasal 47 waktu itu tidak ada KSP, Kemenko Maritim dan Investasi, KKP, Bakamla, BNPB. Waktu itu sudah ada tugas perbatasan, tetapi badan nasional perbatasan belum terintegrasi dengan Kementerian Dalam Negeri,” kata dia.

Karena itu, Lemhannas pun mengundang para pakar, perwakilan dari TNI dan Kementerian Pertahanan untuk membahas topik tersebut yang hasilnya nanti dipergunakan untuk menguji Undang-Undang TNI yang saat ini berlaku.

Wacana revisi UU TNI bergulir sejak bulan lalu saat Badan Pembinaan Hukum TNI memaparkan beberapa usulan untuk draf perubahan UU TNI kepada Panglima TNI.

Walaupun demikian, pembahasan itu masih di internal Babinkum TNI dan belum rampung.

Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono di sela kegiatan di Jakarta Senin  (15/5) menyampaikan TNI akan rapat dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk membahas itu.

Dia menyampaikan revisi UU TNI dibutuhkan untuk menyesuaikan aspek-aspek yang tidak lagi relevan dengan perkembangan situasi yang ada, sementara untuk hal-hal yang masih relevan, itu akan dipertahankan dalam UU hasil revisi.