LABUAN BAJO - Deklarasi tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia Akibat Penyalahgunaan Teknologi (TPPO) sangat diperlukan demi kepentingan masyarakat ASEAN, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah.
Faizasyah menuturkan korban perdagangan manusia tidak hanya dari Indonesia saja, tetapi juga negara-negara Asia Tenggara lainnya.
“Kasus perdagangan manusia ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia walaupun fokus peristiwanya terjadi di negara seperti Myanmar, Kamboja, bahkan di Filipina. Namun, korbannya adalah masyarakat ASEAN itu sendiri,” kata Faizasyah dilansir ANTARA, Jumat, 12 Mei.
Karena itu, deklarasi dari para pemimpin ASEAN dianggap sangat penting, terlebih karena kejahatan lintas negara kini makin berkembang di era maraknya teknologi dan media sosial.
Para pemimpin ASEAN menghasilkan sedikitnya 10 dokumen selama KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo pada 10-11 Mei.
Salah satu dokumen yang dihasilkan adalah Deklarasi tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia Akibat Penyalahgunaan Teknologi.
Dalam deklarasi tersebut, para pemimpin ASEAN sepakat untuk memperkuat kerja sama dan koordinasi dalam pemberantasan perdagangan manusia dengan meningkatkan kapasitas penegak hukum dan lembaga terkait masing-masing negara anggota untuk menyelidiki dan mengumpulkan data dan bukti.
BACA JUGA:
Selain itu, mereka sepakat meningkatkan kapasitas hukum untuk mengidentifikasi korban, mendeteksi, dan mengadili kejahatan, melakukan latihan dan operasi terkoordinasi bersama, serta penyelidikan bersama terkait TPPO dan kejahatan transnasional lainnya
“Pelaksanaannya akan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang secara teknis menangani itu, yaitu kepolisian, imigrasi, cyber crime dan lain lain. Semua itu akan bergerak lebih terkoordinasi karena sudah ada fatwa,” kata Faizasyah.
Presiden Joko Widodo sebelumnya menegaskan pemberantasan perdagangan manusia harus ditindaklanjuti dan dia mengajak negara-negara ASEAN untuk menindak tegas para pelaku utamanya.