Bagikan:

YOGYAKARTA - Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof. Fathul Wahid menekankan dalam kontestasi politik, pluralitas atau kemajemukan harus mendapatkan tempat, bukan justru menonjolkan identitas.

"Bukan menonjolkan identitas, melainkan program kerja dan gagasan, serta menjaga semangat inklusivisme," ujar Fathul saat peluncuran Kantor The Conversation Indonesia (TCID) di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, dilansir ANTARA, Kamis, 11 Mei.

Menurut Fathul, tidak ada definisi tunggal untuk menerjemahkan istilah politik identitas.

Namun, secara umum, kata dia, politik identitas dikaitkan dengan agenda, aksi, aktivisme politik yang di dalamnya berisi anggota kelompok berbasis identitas, mengorganisasi, dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan yang dialami karena struktur, sistem, dan praktik yang hegemonik.

Fathul menuturkan pelacakan literatur menemukan, bahwa ketika lahir pada 1970-an di Amerika, politik identitas merupakan gerakan untuk melawan ketidakadilan.

"Sebagai contohnya adalah perjuangan perempuan kulit hitam di Amerika yang saat itu menjadi warga kelas dua, di bawah penindasan kulit putih," ujar dia.

Pada saat itu, lanjut Fathul, identitas didasarkan pada keadaan minoritas, ras, etnisitas, dan kelompok sosial lain yang merasa terpinggirkan.

Dalam perkembangan selanjutnya, identitas didasarkan pada agama, kepercayaan, dan ikatan kultural yang beragam.

"Yang diperjuangkan saat itu adalah kesetaraan untuk semuanya tanpa mengabaikan kepentingan bersama," tutur dia.

Sementara itu, bagi Fathul, patut dipertanyakan apakah praktik politik identitas yang dalam beberapa tahun terakhir banyak menghiasi ruang diskusi di Tanah Air mengabaikan kepentingan bersama atau tidak.

Dengan misinformasi dan hoaks, bingkai peyorasi yang mendiskreditkan kelompok lain, menurut dia, justru menjauhkan dari keadilan dan kesetaraan.

"Alih-alih menuju kepada keadilan dan kesetaraan untuk kebaikan bersama, bandul pendulum akan menuju kepada ekstrem yang lain," kata dia.

Politik identitas yang didasarkan pada ikatan primordial, disebutkan Fathul, akan dengan mudah menggantikan politik kewarganegaan, dan wawasan kebangsaan menjadi terdesak.

Dia menyadari perbedaan identitas adalah fakta sosial dan merupakan "sunatullah", meski demikian dalam berinteraksi perlu dibalut nilai-nilai agung, termasuk kesetaraan sesama anak bangsa, apapun latar belakangnya.

Sebagai bangsa yang plural, Fathul menegaskan bahwa bangsa Indonesia sejak kelahirannya sudah kaya dengan perbedaan.

Karenanya, ia berharap jangan sampai persatuan bangsa tergadaikan untuk kepentingan kelompok manapun dengan mengabaikan kebaikan bersama sebagai sebuah bangsa.

"Tidak boleh ada sekelompok anak bangsa yang merasa paling unggul dan merendahkan liyan. Apapun dalihnya. Semua anak bangsa harus dilihat setara. Pengkhianatan kepada nilai kesetaraan akan menyemai benih ketidakpuasan, ketidakpercayaan, dan buah pahitnya adalah perpecahan anak bangsa," tutur Fathul.