JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly menegaskan bahwa hukuman penjara bukanlah satu-satunya upaya dalam penyelesaian pelanggaran hukum karena berujung pada jumlah tahanan yang melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas).
"Konsepsi penjara sebagai ultimum remedium, upaya terakhir, bergeser menjadi premium remedium, menjadi satu-satunya alat, bukan the last resource (upaya terakhir)," kata Yasonna dalam simposium nasional bertajuk "Menuju Paradigma Baru Pemidanaan Indonesia" dilansir ANTARA, Kamis, 13 April.
Pergeseran konsep tersebut, lanjut Yasonna, dibuktikan melalui penyelesaian pelanggaran hukum lewat sistem peradilan pidana yang cenderung prison-oriented, yakni setiap pelanggaran pidana selalu berujung pada pemenjaraan.
Hal tersebut lantas mengakibatkan penjara mengalami masalah laten yaitu terlampau padat (overcrowded) jumlah tahanan, sehingga melebihi daya tampung suatu penjara.
Yasonna menjelaskan hukuman penjara seberat apa pun terbukti tidak pernah berhasil untuk memadamkan kejahatan.
"Kalau kita terus mempertahankan prinsip premium remedium, bahwa pemidanaan (penjara) itu adalah satu-satunya (upaya), maka kita tidak akan mampu berkejar-kejaran membangun lapas dengan tingkat kejahatannya," jelasnya.
BACA JUGA:
Melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru, Pemerintah mengenalkan pendekatan berupa pemenjaraan bukanlah upaya satu-satunya, melainkan upaya terakhir.
Karena itu, Yasonna berharap agar pendekatan dalam KUHP dan Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru dapat disosialisasikan; tidak hanya kepada kampus, tetapi juga mulai menyentuh para aparat penegak hukum termasuk para pengacara.
Para pihak yang terlibat dalam pembuatan undang-undang tersebut, yakni Kemenkumham dan Komisi III DPR RI, bersedia membantu dalam menyampaikan filosofi dan tafsir sesungguhnya dari KUHP yang telah disahkan.
"Kita masuk ke transisi sebelum tiga tahun. Desember 2025 nanti KUHPidana baru kita berlaku," ujar Yasonna.