Bagikan:

LAMPUNG - Pemberian sumbangan atau infak tidak boleh menjadi dasar pertimbangan untuk meluluskan calon mahasiswa baru masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN).

Hal itu disampaikan Waluyo, saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus suap penerimaan mahasiswa baru (PMB) dengan tiga terdakwa eks Rektor Unila Karomani, eks Mantan Wakil Rektor Unila Heryandi, dan eks Ketua Senat Unila Muhammad Basri.

"Sumbangan atau iuran atau apa pun itu tidak boleh menjadi dasar untuk menentukan diterima atau tidaknya calon mahasiswa baru," kata Waluyo di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, Bandarlampung, Selasa 11 April, disitat Antara.

Dalam sidang tersebut, Waluyo yang juga dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menjelaskan, jalur penerimaan afirmasi dalam PMB suatu PTN diperuntukkan bagi calon mahasiswa baru dari daerah terdepan, terluar, tertinggal atau 3T dan bukan untuk kerabat para civitas akademika.

"Karena afirmasi itu, hemat saya, diperuntukkan bagi calon mahasiswa yang berada di lokasi 3T," tuturnya.

Menurut Waluyo, pimpinan tertinggi dalam suatu PTN, dalam hal ini rektor, tidak boleh melampaui kewenangan dalam seleksi PMB karena harus mengacu kepada peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

"SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi) memang dibolehkan orang tua memberikannya, selama hal itu sudah diatur oleh peraturan sebelumnya dan peruntukannya guna pembangunan institusi, dan itu pun dilaporkan serta transparan," jelasnya.

Namun, lanjut dia, apabila sumbangan yang diberikan oleh orang tua calon mahasiswa atau calon mahasiswa tidak diatur dalam peraturan sebelumnya dan kepentingannya bukan untuk institusi, maka hal itu tidak dibolehkan.

"Tidak boleh kalau belum diatur dalam ketentuan yang ditetapkan sebelumnya, terlebih bila digunakan untuk kepentingan pribadi itu menyalahi aturan yang berlaku," imbuhnya.

Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sehingga, lanjut Waluyo, pemberian sesuatu yang memengaruhi jabatan atau penerimaan calon mahasiswa itu menyalahi wewenang sesuai peraturan.

"Peraturan menetapkan bahwa dalam penerimaan mahasiswa jalur lain yang diatur dalam perguruan tinggi memang dibolehkan mengatur mengenai bantuan. Namun, hal itu bukanlah menjadi dasar untuk meluluskan seseorang ke perguruan tinggi. Tetapi, kampus tidak boleh mengesampingkan standar akademik yang sudah ditetapkan oleh peraturan dan bantuan itu bukan untuk pribadi. Sehingga, nilai bantuan bukanlah dasar utama dalam menentukan kelulusan," ujar Waluyo.

Dalam sidang tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan dua orang saksi ahli, yakni Waluyo dan Sigid Riyanto dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakartaa.

Sidang lanjutan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Lingga Setiawan dan empat hakim anggota lainnya itu dilaksanakan secara daring karena dua saksi ahli berhalangan hadir secara langsung.