JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo dalam melakukan upaya rekonsiliasi dan konsolidasi elite politik saat ini karena akan membawa banyak manfaat.
"Jika elite bersatu dalam situasi krisis saat ini maka akan banyak manfaatnya. Tapi, sebenarnya upaya rekonsiliasi dan konsolidasi elite itu sudah dilakukan Pak Jokowi sebelum adanya COVID-19," kata Fahri Hamzah dalam keterangan dikutip ANTARA, Minggu, 9 April.
Fahri menyebut upaya Presiden Jokowi melakukan rekonsiliasi sudah dilakukan ketika merevisi Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) pada 2019 lalu.
"Waktu kita merevisi Undang-Undang MD3, terakhir itu 2019. Presiden meminta supaya semua partai dapat kursi pimpinan DPR /MPR, dan benar itu akhirnya terjadi," ujar Fahri.
Sebab, kata Fahri, jika mengacu pada UU MD3 yang lama maka tidak semua partai mendapatkan kursi pimpinan DPR/MPR, melainkan hanya partai yang masuk lima besar.
Setelah direvisi, lanjut dia, akhirnya semua partai mendapatkan kursi pimpinan MPR, termasuk PKS dan Partai Demokrat yang merupakan oposisi.
"Terakhir itu, Presiden bilang kita mau masuk rekonsilisiasi, semua partai kasih pimpinan dan dapat semua," tuturnya.
Artinya, sambung Fahri, Presiden Jokowi sudah melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi elite sebelum ada COVID-19 ketika dunia dalam keadaan normal dan tidak ada pandemi.
Hal tersebut tampak dari Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang merupakan rival Presiden Jokowi pada Pilpres 2019 akhirnya dilantik masuk ke dalam kabinetnya sebagai menteri.
"Jadi, sebenarnya rekonsiliasi yang dirancang Pak Jokowi sebelum krisis itu satu inisiatif yang tepat, setelah terjadi pembelahan dua kali yang keras. Tapi, sayang tiba-tiba awal 2020, COVID-19 datang," katanya.
Fahri menyebut banyak keputusan elite politik yang diuntungkan dengan adanya rekonsiliasi dan konsolidasi elite, terlebih pandemi COVID-19 membawa dampak krisis kesehatan, kesejahteraan, ekonomi, dan politik secara global.
"Sekarang ini COVID-19 sudah selesai, tetapi kan krisis politik dunia masih ada. Ada Perang Rusia-Ukraina, ada kemungkinan perang di Taiwan dan lain-lain. Kemungkinannya cukup besar, tetapi lagi-lagi sedikit banyak jika elite-nya bersatu dalam krisis, rekonsiliasi itu banyak manfaatnya," jelasnya.
Karena itu, Fahri menegaskan rekonsiliasi seharusnya dipandang bukan sebagai insiden, melainkan sebuah monumen yang harus dilembagakan karena persatuan elite bermanfaat bagi bangsa dan negara.
"Kita tadinya menginginkan agar rekonsiliasi dilanjutkan sampai pada pembenahan sistem pemilu dan politik secara masif. Tetapi, sayangnya tidak berani dituntaskan, misalnya soal presidential threshold nol persen," katanya.
BACA JUGA:
Fahri berharap agar usia pemerintahan Presiden Jokowi yang tinggal tujuh bulan lagi tidak ada persaingan di dalam kabinet yang berpotensi merusak fokus dan konsentrasi kerja dari pemerintah lantaran sibuk memikirkan pencalonan pada Pilpres 2024.
"Jadi, apa yang dilakukan oleh Pak Jokowi meminta adanya koalisi besar itu, sebagai konsolidasi terhadap kabinet menurut saya harus dihormati dan harus dipuji karena kekuasaan kabinetnya masih berlangsung," tuturnya.
Dia berpandangan seharusnya para menteri yang duduk di kabinet pun tidak boleh memiliki calonnya sendiri-sendiri karena mereka masih bagian dari pemerintah.
Pasalnya, dia menilai para menteri yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), seperti Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan dan Prabowo Subianto jika memiliki calonnya sendiri dikhawatirkan mengganggu kinerja pemerintahan Jokowi.
"Kalau oposisi mau menyerang, silakan saja. Tetapi, inisiatif Pak Jokowi mengonsolidasi sisa kekuasaan sampai berakhir itu top dan harus dipuji. Nanti, efeknya hanya satu kandidat," ucapnya.