JAKARTA - Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Ulil Abshar Abdallah meminta para influencer untuk tidak mengungkapkan dukungan pribadinya terhadap calon presiden (capres) tertentu di Pilpres 2024.
Hal ini diungkapkan Ulil saat menanggapi isu polarisasi yang masih melekat pada publik jelang Pemilu 2024, khususnya di media sosial.
Menurut Ulil, tidak terlibatnya influencer dalam mempengaruhi publik atas calon-calon presiden bisa meredam isu polarisasi.
"Saya menganjurkan tokoh tokoh yang bisa disebut sebagai influencer, itu sebaiknya tidak terlibat dalam politik dukung mendukung," kata Ulil saat menanggapi hasil survei soal polarisasi oleh Laboratorium Psikologi Politik UI, Minggu, 19 Maret.
Namun, permintaan Ulil ini boleh tak diindahkan oleh influencer yang merupakan kader atau pengurus partai. Sebab, tugas mereka adalah mempromosikan kontestan politik pilihannya.
Lebih lanjut, Ulil mengaku tidak melarang para influencer untuk memiliki dukungan terhadap capres tertentu. Hanya saja, bentuk dukungan tersebut tak perlu diungkapkan ke publik.
"Anda boleh punya pilihan personal, siapa yang nanti akan dipilih dalam Pilpres mendatang. Tetapi kalau kebetulan anda ini posisinya adalah seorang influencer, kyai atau seorang intelektual, apalagi yang followers-nya sampai satu juta, misalnya, itu sebaiknya tidak terlibat dalam percakapan soal capres," urai Ulil.
"Jadi, tugas publik anda di dalam situasi seperti ini adalah bukan ikut mendorong terjadinya polarisasi dengan memihak salah satu calon, tetapi mendinginkan suasana," lanjutnya.
Sebagai informasi, Laboratorium Psikologi Politik UI menggelar survei opini publik mengenai sisa polarisasi politik tahun 2019 yang masih ada jelang Pemilu 2024 saat ini.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa masyarakat terpolarisasi menjadi 2 kelompok, yakni kluster 1 yang pro pemerintah dengan proporsi 57 persen dan kluster 2 yang tidak berpihak pada pemerintah atau anti terhadap asing dan "aseng" dengan proporsi 43 persen.
Secara rinci, kluster 1 merupakan kelompok pro Jokowi yang relatif Sekuler ke arah moderat, puas terhadap kinerja pemerintah, relatif tidak berprasangka terhadap kekuatan ekonomi asing dan "aseng".
Sementara, kluster 2 memiliki merupakan kelompok dalam ideologi politik dimensi keagamaan. Di mana, mereka meyakini pemimpin harus seiman atau seagama, kebijakan publik berlandaskan agama, hingga sanksi punitif terhadap penista agama, perda syariah mendapat endorsement yang tinggi).
Kluster 2 ini juga lebih percaya pada teori konspiratif bahwa pemerintah adalah konspirasi dari kekuatan asing dan "aseng". Kluster ini menyatakan ketidakpuasan terhadap kebijakan dan hasil yang dicapai pemerintah.
BACA JUGA:
Survei opini publik Laboratorium Psikologi Politik UI soal sisa polarisasi Pilpres 2019 ini digelar pada periode 6 Februari hingga 28 Februari 2023.
Pada survei ini, teknik analisis yang digunakan seperti item-response theory (IRT), principal component (PCA), dan latent classification analysis (clustering) dengan metode mengukur Sigma Distance. Total responden sebesar 1.190 WNI berusia 17 tahun ke atas yang berasal dari 33 provinsi.