Banjir Bandang di Sumsel Dinilai akibat Daerah Resapan Air Rusak
Banjir Bandang Sumsel (Foto: Dok. Antara-HO BPBD Lahat)

Bagikan:

JAKARTA - Bencana banjir bandang di beberapa kabupaten di Sumatera Selatan (Sumsel) disebabkan daerah resapan air banyak yang rusak. Hal ini karena perambahan hutan liar.

"Salah satu faktor penyebab banjir di tiga kabupaten di Sumsel meliputi Lahat, Muaraenim dan OKU Selatan pada Kamis (9/3) lalu disebabkan karena daerah resapan air banyak yang rusak," kata Pendiri Lembaga Lingkungan Hidup Jejak Bumi Indonesia (JBI) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Hendra Setyawan di Baturaja mengutip antara, Minggu, 12 Maret.

Menurut dia, saat ini dari total luas hutan di Provinsi Sumsel seluas 3,46 juta hektare (Ha), sekitar 700 ribu Ha diantaranya kondisinya sudah kritis sehingga rawan terjadi bencana alam.

Sebagian besar daerah hulu sebagai wilayah tangkapan air sudah banyak yang rusak akibat perambahan hutan secara liar dan ditambah lagi dibukanya perkebunan sawit serta pertambangan dalam skala besar turut menyumbang potensi bencana alam di tiga kabupaten tersebut.

Akibatnya, banjir bandang yang melanda Desa Lubuk Sepang, Kabupaten Lahat dan Desa Sidorahayu, OKU Selatan serta Desa Lubuk Nipis, Kabupaten Muaraenim beberapa waktu lalu masih menjadi ancaman yang harus diwaspadai bersama.

"Mudah-mudahan tidak terjadi lagi karena banyak sekali korban bencana alam di tiga kabupaten tersebut mencapai ratusan unit rumah, bahkan sampai menelan korban jiwa," katanya.

Oleh sebab itu, perlu pemahaman dari stakeholder terkait tentang kondisi tata ruang dan hutan di Sumatera Selatan agar kedepan musibah tersebut tidak terulang lagi.

JBI mendorong peran pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan tata ruang dengan baik agar setiap kabupaten di Sumsel memiliki rencana detail untuk menata wilayah, kajian lingkungan hidup strategis serta dokumen lainnya.

Hal itu dilakukan untuk menata kawasan hutan lindung agar tidak dirusak untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar ataupun pertambangan batubara bukan pada tempatnya hingga merusak lingkungan sekitar.

"Jadi untuk mengatasi kerusakan alam bukan hanya sekedar tanam pohon, bersihkan gorong-gorong atau buang sampah sembarangan saja, namun harus komplek dari hulu dan hilirnya," demikian Hendra Setyawan.