JAKARTA - Mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa belum disanksi secara internal karena terlibat kasus dugaan peredaran narkoba. Polri beralasan sanksi etik yang bakal ditentukan dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) itu baru diberikan setelah peroses peradilan pidana rampung dan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Tetap semua menunggu proses persidangan pidana umumnya dulu lebih pasti," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo kepada wartawan, Jumat, 3 Maret.
Namun saat disinggung adanya perbedaan perlakuan antara Teddy Minahasa dan Ferdy Sambo soal sidang KKEP, Dedi menyebut kedua kasus itu tak bisa disamakan penanganannya.
"Beda casenya, jadi antara case TM dan Sambo tidak bisa dibandingkan apple to apple. Enggak bisa," ungkapnya.
Tak dirinci mengenai alasan di baliknya. Dedi hanya mengatakan bila semua terduga pelanggar banal diberi sanksi internal.
Tetapi, untuk kasus yang melibatkan Teddy Minahasa diputuskan persidangan etik baru dilakukan setelah peradilan pidana rampung.
"Iya, jadi tidak bisa apple to apple, setiap case tu memiliki karakteristik sendiri-sendiri, memiliki penafsiran sendiri-sendiri oleh hakim komisi yang dia punya alasan yuridis sendiri yang bisa dipertanggunjawabkan oleh mereka," kata Dedi.
Sebagai informasi, Irjen Teddy Minahasa memerintahkan anak buahnya, AKBP Doddy Prawiranegara untuk menyisihkan barang bukti narkotika jenis sabu-sabu dari hasil pengungkapan kasus untuk diedarkan.
BACA JUGA:
Polres Bukittinggi awalnya hendak memusnahkan 40 kilogram sabu, namun Irjen Pol Teddy Minahasa diduga memerintahkan untuk menukar sabu sebanyak lima kilogram dengan tawas.
Meski demikian, penggelapan barang bukti narkoba tersebut akhirnya terbongkar dengan rangkaian pengungkapan kasus narkotika oleh Polres Metro Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya.
Sebanyak 1,7 kilogram sabu telah berhasil diedarkan sedangkan 3,3 kilogram sisanya berhasil disita oleh petugas.
Adapun pasal yang disangkakan kepada Teddy yakni Pasal 114 Ayat 3 sub Pasal 112 Ayat 2 Jo Pasal 132 Ayat 1 Jo Pasal 55 UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan ancaman maksimal hukuman mati dan minimal 20 tahun penjara.