Bagikan:

YOGYAKARTA - Dewan Penasihat Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Jamaludin Ghofur menilai dominasi kekuasaan ketua umum memicu partai politik di Indonesia mengalami krisis kepemimpinan.

"Mayoritas parpol di era reformasi kini mengalami krisis kepemimpinan karena terlalu tingginya ketergantungan pada figur besar karismatik, di mana hidup dan matinya partai sangat bertumpu pada sosok ketua umum," ujar Jamaludin Ghofur saat menyampaikan pidato ilmiah pada rapat terbuka senat dalam rangka milad ke-80 UII di Kabupaten Sleman dilansir ANTARA, Senin, 20 Februari.

Menurut Jamaludin, salah satu tantangan dan kesulitan untuk membangun organisasi partai yang modern dan profesional adalah terlalu kuat atau dominannya kedudukan pemimpin parpol.

Karena itu, kata dia, kekuasaan ketua umum di tubuh parpol ke depan perlu dikurangi dan cukup diposisikan layaknya seorang manajer.

"Cukup diposisikan seperti seorang manajer yang tugasnya hanya bertanggung jawab merencanakan, mengatur, dan mengelola serta menjalankan kegiatan partai," kata dia.

Pengambilan keputusan penting parpol, lanjut Jamaludin, harus ditempuh melalui musyawarah bersama dengan melibatkan seluruh pengurus dan jika memungkinkan, mengikutsertakan seluruh anggota.

"Untuk jangka panjang, partai yang sehat dan modern tidak bisa hanya mengandalkan diri pada kepemimpinan karismatik," ujarnya.

Jamaludin menuturkan dalam memenangkan pemilu merupakan syarat untuk menjadi partai yang besar, akan tetapi belum memenuhi syarat untuk membangun partai yang modern.

Upaya membangun parpol yang modern, kata dia, hanya dapat dicapai manakala setiap partai mampu keluar dari berbagai ancaman krisis, termasuk salah satunya adalah krisis kepemimpinan.

Dia mengatakan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik telah menegaskan bahwa kedaulatan dalam partai, ada di tangan anggota.

Namun demikian, kata Jamaludin, pada kenyataannya perumusan kebijakan-kebijakan strategis partai pada umumnya masih sepenuhnya dikendalikan para elit partai.

"Bahkan dalam konteks tertentu hanya menjadi hak eksklusif ketua umum seseorang, sementara anggota hanya menjadi penonton semata," kata dia.

Dia menilai pelaksanaan suksesi kepemimpinan di tubuh parpol juga belum mencerminkan demokratisasi di internal parpol, bahkan bertentangan dengan semangat reformasi.

Semangat reformasi yang membatasi periode kekuasaan di semua jabatan strategis seperti presiden, gubernur, bupati, dan wali kota yakni maksimal dua periode, menurut dia, tidak dijumpai di organisasi parpol.

Menurut dia, kebanyakan parpol justru dipimpin oleh ketua umum tanpa pembatasan masa jabatan sama sekali.

"Beberapa partai dipimpin oleh seorang ketua umum lebih dari dua periode, bahkan ada partai yang sejak berdiri tidak pernah berganti pimpinan," kata Jamaludin Ghofur.