Bagikan:

AGAM - Kecamatan Tanjungmutiara, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, merupakan satu-satunya kecamatan di kabupaten ini yang memiliki laut dengan garis pantai sepanjang 43 kilometer yang berhadapan dengan Samudera Hindia.

Kecamatan Tanjungmutiara memiliki dua dari empat nagari atau desa adat yang berada di sepanjang garis pantai tersebut dan pada umumnya masyarakat tinggal di pantai itu.

Pada umumnya masyarakat sepanjang pantai itu bermata pencarian sebagai nelayan, berdagang, perajin skala usaha mikro, kecil menengah, berkebun, dan usaha lainnya.

Dengan berhadapan pada Samudera Hindia, gelombang pasang cukup besar ditambah tidak adanya pulau besar yang bisa menghambat terjangan gelombang pasang.

Akibatnya, gelombang pasang itu memicu abrasi pantai kemudian menggerus daratan di sepanjang garis pantai tersebut.

Penggerusan daratan ini disebabkan tidak adanya pemecah ombak yang dipasang di sepanjang garis pantai dengan bentangan 2,5 kilometer, dari Muaro Putih sampai Jorong Masang.

Kondisi itu menyebabkan abrasi pantai hampir terjadi setiap tahunnya semenjak puluhan tahun silam. Akibatnya, kampung Padang Subaliak, Padang Masang, dan Muaro Putih habis dan berubah menjadi lautan.

Sekretaris Kerapatan Adat Nagari (KAN) Tiku Lima Jorong, Agusmaidi, dilansir dari ANTARA, Minggu, 19 Februari menyatakan, abrasi itu terjadi semenjak puluhan tahun lalu, yang mengakibatkan kampung warga berubah  menjadi lautan.

Kampung pertama dengan nama Kampuang Padang Masang merupakan tempat orang tuannya lahir dan daerah itu habis akibat abrasi.

Setelah itu, warga termasuk ayah dari orang tuanya membangun rumah di Padang Subaliak dengan jarak dari bibir pantai sekitar 1,5 meter, agar lebih aman dari gelombang.

Padang Subaliak merupakan kampung kelahirannya dan tempat ia bermain dengan teman-temannya sekitar 50 tahun silam.

Namun, perkampungan itu kembali diterjang abrasi pantai sehingga pada 2014 kampung itu ditinggalkan warganya ke lokasi baru dengan jarak sekitar 500 meter dari bibir pantai.

Setidaknya, ada sekitar 242 unit rumah, masjid, pusat kesehatan, dan bangunan lainnya yang rusak diterjang abrasi di Padang Subaliak. Saat ini, hanya tinggal beberapa puing bangunan rumah dan masjid yang berada di tepi pantai.

Dengan kondisi itu, maka satu kampung dihuni oleh satu generasi dan ia merupakan generasi kedua.

Saat ini, jarak permukiman sekarang tempat anaknya lahir hanya tinggal sekitar 400 meter dari bibir pantai dan apabila ini tidak diatasi, maka perkampungan itu bakal kembali hilang. Mengulang sejarah bencana lingkungan.

Selain itu, lahan perkebunan kelapa sawit milik Koperasi Unit Desa (KUD) Tiku Lima Jorong, dengan luas areal sekitar 100 hektare, pun sudah habis.

Di lokasi itu para nelayan juga kesulitan mencari ikan di sepanjang perairan akibat banyak bangunan dan pohon.

Perlu pemecah ombak 

Pada tahun 2016, sepanjang 2 kilometer bibir pantai telah dipasang pemecah ombak di Jorong Muaro Paneh sampai Jorong Ujuang Labuang sehingga daerah itu aman dari gerusan gelombang pasang.

Di Jorong Muaro Putih baru dipasang lima  pemecah ombak, sedangkan di Jorong Masang belum ada satu pun sehingga setiap tahun sekitar 30-50 meter daratan tergerus gelombang pasang.

Setidaknya, sekitar 2,5 kilometer bibir pantai sangat mendesak dibangun pemecah ombak, agar permukiman warga aman dari gelombang pasang.

Sekretaris Kerapatan Adat Nagari (KAN) Tiku Lima Jorong, Agusmaidi, menyatakan KAN dan Pemerintah Nagari Tiku Lima Jorong sudah sering mengusulkan pembangunan pemecah ombak ke Pemkab Agam, Pemprov Sumbar, dan Balai Wilayah Sungai Sumatera V.

Pembangunan pemecah ombak itu sering diajukan saat musrenbang (musyawarah rencana pembangunan) dengan prioritas pertama. Pihaknya juga mengajukan proposal ke bupati, anggota DPRD Sumbar, dan DPR RI.

Namun sampai saat ini belum direalisasi  sehingga masyarakat merasa ketakutan dengan kondisi itu.

Wakil Bupati Agam, Irwan Fikri, menambahkan Pemkab Agam sudah melakukan pendataan secara menyeluruh dampak dari abrasi pantai itu di sepanjang garis pantai Tiku.

Hasil pendataan itu sudah disampaikan ke Pemprov Sumbar dan Pemkab Agam juga telah menyurati Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera V.

Namun, Pemkab Agam masih menunggu tindak lanjut dari Pemprov dan BWSS V. Untuk lebih lanjut, Pemkab Agam akan berkoordinasi dengan Pemprov dan BWSS V, agar abrasi segera ditangani.

Dengan cara itu, maka permukiman warga bisa terselamatkan dari abrasi.

Pemkab Agam terus berupaya mengajukan ke Pemerintah Pusat agar segera dibangun  pemecah ombak dalam waktu dekat.

Bangunan pemecah ombak sangat dibutuhkan untuk mengatasi gelombang pasang di daerah tersebut sehingga daratan di sepanjang pantai rawan abrasi itu menjadi lebih aman, nantinya.

2.350 keluarga di daerah rawan abrasi 

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Agam, mencatat sebanyak 2.350 keluarga yang tersebar di Kecamatan Tanjungmutiara, tinggal di daerah rawan bencana abrasi pantai.

Sekretaris BPBD Agam, Olkawendri, menyebutkan bahwa angka tersebut berdasarkan pendataan yang dilakukan BPBD setempat beberapa bulan lalu dengan menurunkan tim ke lapangan.

Data yang dihimpun di lapangan melalui warga, wali jorong, dan wali nagari tersebut telah dikirimkan ke BPBD Sumbar.

Pendataan itu dilakukan setelah abrasi pantai melanda daerah tersebut sekitar 20 meter selama satu bulan.

Sebanyak 2.350 keluarga itu tersebar di Jorong Gasan Kaciak 105 keluarga dari 35 unit rumah, Jorong Banda Gadang 135 keluarga dari 45 unit rumah, Jorong Pasia Tiku 987 keluarga dari 329 rumah.

Adapun Jorong Pasia Paneh sebanyak 220 keluarga dari 170 rumah, Jorong Labuhan tercatat 150 keluarga dari 100 rumah.

Selain itu, Jorong Muaro Putih tercatat 550 keluarga dari 400 rumah, Jorong Masang satu keluarga dari satu rumah, dan Jorong Ujuang Labuang 352 keluarga dari 250 rumah.

Untuk permukiman terdampak sebanyak 1.330 rumah yang tersebar di delapan jorong di Nagari Tiku Selatan dan Tiku Lima Jorong.

Selain permukiman juga ada bangunan terdampak abrasi yakni, SD sebanyak lima unit, TK satu unit, PAUD satu unit, MTs satu unit, dan SMP satu unit.

Lalu puskesmas pembantu empat unit, kantor jorong tiga unit, UPT satu unit, jembatan tujuh unit, tempat ibadah 13 unit, dan jalan dengan panjang 11.500 meter. 

Mengingat ancaman keselamatan warga begitu nyata, sudah seharusnya pembangunan pemecah gelombang disegerakan.

Ikhtiar ini sekaligus untuk menyelamatkan perkampungan beserta harta warga dan fasilitas publik yang telah dibangun dengan uang rakyat.