JAKARTA - Kuasa hukum pihak terkait dari Partai NasDem Risky Dewi Ambarwati menegaskan, pemohon atas nama Yuwono Pintadi dalam perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem Pemilihan Umum (Pemilu) proporsional tertutup bukan kader partai tersebut.
"Saudara Yuwono Pintadi bukan merupakan anggota atau kader Partai NasDem," kata kuasa hukum pihak terkait dari Partai NasDem Risky Dewi Ambarwati dalam sidang perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem Pemilu proporsional tertutup yang digelar Mahkamah Konstitusi di Jakarta, dilasnir dari Antara, Kamis, 16 Februari.
Penegasan tersebut disampaikan Risky karena pemohon menggunakan atribut dan identitas Partai NasDem sebagai pemohon di Mahkamah Konstitusi, dalam menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Atas dasar itu, pihak terkait merasa ada hubungan sebab akibat dengan permohonan a quo yang diajukan.
Apalagi, salah satu pemohon mengatasnamakan Partai NasDem. Sementara, pihak terkait menolak sistem pemilu proporsional tertutup dan menilai proporsional terbuka sebagai praktik yang ideal dalam berdemokrasi.
Di hadapan majelis hakim konstitusi yang diketuai Anwar Usman, Risky menegaskan pemohon tersebut sama sekali tidak tercatat dalam sistem keanggotaan Partai NasDem.
"Perbuatan dan tindakan hukum Yuwono Pintadi sama sekali tidak mewakili sikap Partai NasDem dalam mengajukan PUU a quo," kata dia kembali menegaskan.
Permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait pengujian Undang-Undang Pemilu diajukan Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Para pemohon mendalilkan Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Para pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem Pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak calon legislatif pragmatis yang hanya bermodalkan kepopuleran tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik.
BACA JUGA:
Serta tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri.