Bagikan:

TRENGGALEK - Dinas Peternakan Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, berupaya mempertahankan populasi ternak sapi spesies lokal "galekan" kendati tidak masuk tipe unggul dan jumlahnya terus menurun.

"Saat ini jumlah sapi galekan tinggal 33 ekor. Kami ingin populasi ini bisa dipertahankan, bahkan ditingkatkan," kata Kepala Bidang Bina Produksi dan Usaha Peternakan Dinas Peternakan Kabupaten Trenggalek, Yoyon Hariyanto dilansir ANTARA, Jumat, 10 Februari.

Terus menurunnya populasi sapi galekan tidak lepas dari kualitas ternak dibanding sapi jenis lain, yang biasanya memiliki bobot lebih berat dan nilai jual tinggi di pasaran.

Berbeda dengan jenis lainnya, sapi galekan  cenderung berukuran lebih kecil dan nilai jual jauh lebih rendah. Akibatnya, minat peternak memelihara ataupun mengembangbiakkan sapi galekan juga rendah.

Di Indonesia galur sapi ada 13-an, salah satunya adalah sapi galekan. Galur sapi galekan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian  Nomor 617/KPTS/PK.020/M/09/2020 tentang Penetapan Rumpun Sapi Galekan," katanya.

Keberadaan 33 ekor sapi galekan itu bahkan hanya ada di Unit Pelaksana Teknis Pembibitan dan Pengembangbiakan sapi galekan milik Dinas Pertanian Trenggalek.

Di masyarakat atau di peternak, populasinya diduga sudah tidak ada.

Upaya konservasi kini coba digiatkan pemerintah daerah melalui dinas peternakan lantaran populasi sapi lokal itu terus merosot drastis. Kondisi itu berbanding terbalik dengan populasi sapi galekan pada masa-masa sebelumnya.

"Populasi turun drastis dan dinas peternakan sejak 2014 fokus untuk penyelamatan dari ancaman kepunahan. Awalnya ada sekitar 5-6 ekor yang kami beli dari masyarakat dan saat ini sudah berkembang menjadi 33 ekor," katanya.

Menurut Yoyon, banyak faktor yang melatarbelakangi sehingga populasi sapi hasil perkawinan silang antara bos javanicus dan bos indicus di Trenggalek yang dikawinkan secara alami dan dipelihara masyarakat secara turun-temurun itu menurun dan jarang dijumpai di masyarakat.

Mulai dari harga jual yang rendah hingga bobot sapi yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan sapi yang umumnya banyak dipelihara masyarakat.

"Karena keengganan masyarakat memelihara. Secara postur lebih kecil, lebih rendah ketimbang sapi eksotis dari luar negeri seperti limosin dan simental sehingga masyarakat beralih ke sapi itu. Selain itu juga pengaruh harga jual. Untuk bobot sapi galekan jantan biasanya antara 350-400 kilogram, betina sekitar 300-an kilogram, sedangkan limosin bisa sampai satu ton lebih," ujarnya.

Yoyon menyebutkan sapi yang persebarannya dulu banyak ditemui di kawasan pesisir selatan dan kawasan pegunungan Trenggalek itu mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan. Selain itu, sapi galekan juga disebut mudah berkembang biak sehingga menjadi salah satu keunggulan sapi galekan.

“Karena melewati adaptasi proses yang panjang karena sudah ratusan, berabad-abad sudah ada di Trenggalek. Mudah beradaptasi terkait makanan, lebih gampang bunting sebenarnya. Kemudian karena makanan murni (alam) sehingga lebih sehat,” ujarnya.

Saat ditetapkan Kementan sebagai sapi asli Trenggalek, jumlah sapi yang memiliki ciri khas garis hitam di sepanjang punggungnya dan warna putih kemerahan hingga kecokelatan itu sebanyak 71 ekor dengan rincian 20 ekor dewasa jantan, 41 ekor dewasa betina dan 10 ekor sapi muda.

Namun lambat laun populasi sapi itu menurun hingga dilakukan upaya konservasi. Sebab galekan menjadi salah satu kekayaan alam yang dimiliki Trenggalek sehingga harus terus dilestarikan.