Bagikan:

JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memandang perlu adanya payung kebijakan yang dapat menjadi acuan untuk gerakan adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi krisis iklim.

"Gerakan tersebut masih banyak tantangan karena belum adanya UU Perubahan Iklim yang bisa jadi acuan dan payung kebijakan untuk aksi yang dilakukan guna capai target yang ditetapkan," kata Eksekutif Nasional WALHI Uslaini Chaus dalam webinar Darurat Bencana Hidrometeorologi: Komitmen Implementasi Kebijakan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dikutip ANTARA, Kamis 9 Februari

WALHI memandang perlu mendorong tanggung jawab pelaku usaha yang berkontribusi besar menyumbang emisi CO2 yang memicu terjadinya krisis iklim yang telah menjadi bencana bagi masyarakat dunia, khususnya masyarakat yang berada di pulau kecil, seperti Kepulauan Seribu di Jakarta.

Seperti dengan melakukan gugatan bersama perwakilan masyarakat terdampak krisis iklim di Pulau Pari Kabupaten Kepulauan Seribum guna membangun kesadaran publik tentang krisis iklim dan penting agar semua orang peduli dan ikut ambil bagian.

Menurut dia, meningkatnya kejadian bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, dan abrasi pantai akibat kerusakan lingkungan dan krisis iklim juga perlu menjadi perhatian.

Uslaini menegaskan bahwa Pemerintah harus menghentikan proyek-proyek pembangunan dan investasi--yang katanya--sebagai solusi atas krisis iklim. Namun, kenyataannya makin memperparah keadaan.

Salah satu yang menjadi sorotan WALHI adalah proyek food estate yang memicu deforestasi dan alih fungsi lahan, yang justru mengalami gagal tanam dan gagal panen karena ketidaksesuaian lahan dan komoditas yang dibudidayakan.

Hal tersebut, kata dia, bukannya meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi, melainkan justru berkontribusi pada pelepasan karbon dan mengganggu kestabilan lingkungan.

Ia mengemukakan bahwa program untuk mitigasi perubahan iklim seperti FoLU Net Sink dan peningkatan pencapaian NDC (Nationally Determined Contribution) yang ambisius hendaknya menyelaraskan dengan kebijakan pemerintah. Dengan demikian, pengalihfungsian hutan dan mangrove untuk proyek pembangunan strategis tertentu tidak terjadi lagi.