Bagikan:

JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berupaya memperkuat literasi iklim dan cuaca kepada para petani guna menghadapi krisis iklim yang mengancam ketahanan pangan Indonesia.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan upaya tersebut tidak hanya dilakukan dari sisi teknologi, namun juga di sisi sumber daya manusia (SDM) yang terus diupgrade sesuai tuntutan dan kebutuhan yang semakin kompleks.

Data dan informasi yang dikeluarkan BMKG tidak hanya dibutuhkan untuk urusan penanggulangan bencana alam saja, namun juga kesehatan, konstruksi, energi pertambangan, pertanian kehutanan, tata ruang, industri, pariwisata, transportasi, pertahanan keamanan, sumber daya air, hingga kelautan perikanan.

"Khusus di sektor pertanian, BMKG terus melakukan penguatan literasi iklim dan cuaca kepada para petani dan penyuluh pertanian sebagai langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sekolah lapang iklim (SLI) terus digelar di seluruh penjuru Indonesia dengan menyasar berbagai komoditas unggulan pertanian," ujar Dwikorita dilansir ANTARA, Jumat, 7 Juli.

Dwikorita menambahkan, informasi kondisi iklim terkini dari BMKG telah digunakan sebagai salah satu referensi atau bahan pertimbangan pengambilan keputusan serta rekomendasi dalam sistem pemantauan ketahanan pangan nasional.

Data dan informasi tersebut berupa anomali iklim global, monitoring kondisi iklim, dan prediksi iklim.

"Informasi tersebut dapat dijadikan referensi awal untuk menentukan status ketahanan pangan nasional. Apakah berada pada kategori aman, waspada, siaga, atau awas," ujarnya.

Dwikorita mengatakan jika tidak ada intervensi kebijakan, potensi kerugian ekonomi di Indonesia (2020-2024) mencapai angka Rp544 triliun akibat dampak perubahan iklim.

Maka dari itu, kebijakan ketahanan iklim menjadi salah satu prioritas yang dinilai mampu menghindari potensi kerugian ekonomi sebesar Rp281,9 triliun hingga tahun 2024 mendatang.

"Dalam RPJMN, BMKG diberikan mandat untuk mendukung peningkatan kualitas lingkungan hidup dan peningkatan ketahanan bencana dan iklim. Hal ini sangat penting karena berdasarkan hitung-hitungan Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana diperkirakan mencapai rata-rata Rp22,8 triliun per tahunnya," ujarnya.