JAKARTA - Sebanyak 9 kota di Indonesia menjadi percontohan kota ramah keluarga. Diharapkan nantinya setiap wilayah harus juga menitikberatkan rujukan utama dalam membuat kebijakan bertumpu pada keluarga
Hal itu dikatakan Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Bima Arya saat menjadi narasumber utama dalam pelatihan kota ramah keluarga pada program Kota Kita Ramah Keluarga yang digagas oleh APEKSI bekerjasama dengan Demi Kita di Bogor, Selasa 24 Januari.
Kata dia, kerjasama antara APEKSI dan Demi Kita yang merupakan start up pertama di Indonesia yang fokus pada isu-isu strategis keluarga ini dilakukan dengan penandatanganan MoU untuk menjalankan program Kota Kita Ramah Keluarga.
Ada pun 9 kota percontohan yang ikut serta dalam mendukung kota ramah keluarga, yakni Bogor, Metro, Tangerang Selatan, Pekalongan, Depok, Banjarmasin, Makassar, Ternate dan Palu.
Ketua Dewan Pengurus APEKSI, Bima Arya mengatakan, Indonesia saat ini ada di persimpangan jalan antara berita bagus, optimisme dan hal-hal yang mengkhawatirkan. Untuk itu, setiap wilayah harus juga menitikberatkan rujukan utama dalam membuat kebijakan bertumpu pada keluarga.
"Indonesia Emas 2045 hanya akan terjadi kalau kita mempunyai long term vision dan integrated approach tentang konsepsi keluarga, isu keluarga diharapkan menjadi isu utama dalam ikhtiar kita menuju kota serta warga kota yang sejahtera," kata Bima dalam keterangannya, Rabu 25 Januari.
Dari data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah melakukan pemutakhiran data dari awal 2022 hingga akhir 2022 jumlah Keluarga di Indonesia bertambah 2,27 juta orang atau tepatnya 2.271.917 keluarga sehingga jumlah keluarga menjadi 70.759.056 keluarga dari sebelumnya 68.487.139 keluarga.
Dari data tersebut, ada 61 persen keluarga bapak ibu dengan anak, 40 persen sisanya yakni single parent, belum memiliki anak, suami istri lansia atau lansia saja.
Untuk keluarga dengan balita di Indonesia berjumlah 14 juta, keluarga yang memiliki remaja ada 32 juta keluarga dan 16 juta keluarga dengan lansia dan sebagian besar pendidikan kepala keluarga masih relatif rendah.
Dirut Demi Kita, Dinar Pandansari mengatakan, kolaborasi pentahelix ini merupakan upaya untuk membangun lingkungan positif di tingkat kota dengan membangkitkan kepedulian para wali kota terhadap isu keluarga. Banyak permasalahan yang berawal dan bisa diselesaikan dari keluarga.
"Data bicara banyak dan kalau ini dibiarkan terus kita kaya ibarat kata duduk diatas bom waktu, karena angka-angka tapi kita tidak melakukan apa-apa ya sama saja, makanya kita harus bergerak. Seperti gayung bersambut APEKSI mendukung bersama juga kementerian lembaga yang merasakan kegerahan yang sama," ujarnya.
Dinar melanjutkan bahwa Indikator strategis keberhasilan program pemerintah itu ujungnya adalah keluarga.
"Sebutlah contoh misalnya indikator kematian ibu karena melahirkan, indikator pernikahan dini, indikator tingkat perceraian, dan seterusnya. Tugas setiap penyelenggara program pembangunan adalah memastikan bahwa programnya bisa mempengaruhi indikator-indikator ini. Jadi setiap input yang masuk, keluar menjadi dampak yang bisa dirasakan manfaat oleh keluarga di Indonesia," tegasnya.
BACA JUGA:
Hal ini sangat relevan dengan misi APEKSI dalam menampung segala sengkarut dan persoalan anggotanya.
"Ya, seperti yang sering disampaikan oleh Bima Arya bahwa APEKSI bukan hanya fokus pada state building, tapi juga nation building di tingkat kota. Artinya, pembangunan kota harus visioner dan jauh untuk kemajuan masa depan, bukan hanya terbatas pada tata kelola pemerintahan di level kota, seperti pembangunan infrastruktur, smart cities serta penguatan sistem dan reformasi birokrasi," ujarnya.
Selain itu APEKSI juga sangan concern dengan penguatan karakter kebangsaan di level kota dalam menuju kota inklusif disabilitas dan minoritas, kota tangguh bencana, kota yang mengamalkan nilai-nilai Pancasila, termasuk kota yang ramah keluarga.