Bagikan:

TERNATE - Lembaga Studi Pemilu dan Demokrasi (LSPD) Maluku Utara (Malut) mempertanyakan barometer apa yang digunakan Bawaslu menggolongkan Malut dalam lima Provinsi di Indonesia masuk dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Posisi Malut berada di urutan ketiga setelah DKI Jakarta.

"Bawaslu harus menjelaskan ke publik kenapa IKP Malut tinggi nilainya, pakai ukuran atau barometer apa. Sebab Pemilu terakhir Malut tergolong sukses dalam penyelenggaraan," kata Direktur LSPD Malut Alfajri A Rahman di Ternate, Antara, Minggu, 18 Desember. 

Indikator menyusun IKP menggunakan sumber pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Sumber data yang digunakan Bawaslu RI untuk urutan pertama DKI Jakarta 88,95, Sulut 87,45 dan Malut dengan nilai 84,86.

Alfajri menambahkan, jika dilihat dari pemaparan Bawaslu untuk menetapkan 5 provinsi salah satunya Maluku Utara rawan dan masuk dua dimensi rawan peringkat pertama yakni rawan tinggi yakni Dimensi Konteks Sosial dan Dimensi Kontestasi.

Oleh karena itu, menjadi pertanyaan kemudian, kata Alfajri, apa indikator yang mendasari kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa IKP Malut tinggi. Sebab sumber data IKP tentu menggunakan sumber data pada pelaksanaan Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 dan dijadikan ukuran pengawasan untuk pelaksanaan Pemilu 2024.

"Hal yang mengagetkan adalah Dimensi Kontestasi dan dimensi Konteks Sosial yang paling tinggi dengan nilai kerawanan 100, sebab Dimensi Sosial Politik secara operasional ditujukan untuk mengukur tingkat keamanan pra pemilu, saat pemilu dan usai pemilu, otoritas penyelenggara pemilu, integritas dan profesional penyelenggara negara dan relasi kuasa di tingkat lokal," kata Alfajri.

Jika dimensi ini diberi ukuran nilai 100, kata Alfajri, maka pertama tingkat keamanan di semua tahapan berpotensi menjadi masalah, kedua penyelenggara pemilu di kendalikan oleh Penyelenggara Negara dan ketiga Netralitas ASN.

"Kalau ukuran netralitas ASN saya sepakat Malut termasuk tinggi kasusnya dan keempat apakah isu primordial menjadi isu penting di Malut atau tidak," kata Alfajri.

Sementara dimensi kontestasi secara operasional ditujukan untuk mengukur hak politik jender, representasi minoritas dan proses pencalonan, jika dimensi kontestasi di ukur dengan nilai 100 maka tentu jawabannya adalah tidak terpenuhinya kontestasi perempuan atau di sebut keterwakilan 30 persen perempuan di Pemilu 2019, kemudian kelompok minoritas menguasai kontestasi di Malut dan proses pencalonan bermasalah.

Dia menambahkan, hal ini tentu menjadi tugas Bawaslu untuk menjelaskan kepada publik terkait predikat IKP yang di dapatkan biar semua tau apa indikatornya sumber data mana yang digunakan.

"Sebab sebelumnya Bawaslu Malut tidak melaksanakan semacam forum FGD untuk mengundang kelompok pemangku kepentingan untuk membahas indikator IKP, tiba-tiba kita di sodorkan hasil IKP seperti ini yakni urutan 3 se Indonesia satu prestasi yang buruk sebetulnya," ujar Alfajri.

Sementara itu, Bawaslu Malut menegaskan, pentingnya keterbukaan layanan informasi publik bagi penyelenggaraan pemilu terutama menghadapi pelaksanaan penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024.

Ketua Bawaslu Malut, Hj Masita Nawawi menyatakan, pihaknya terus membuka layanan informasi publik ini sangat penting dalam penyelenggaraan tahapan pemilu tahun 2024, pasti akan banyak permohonan data dan informasi tentang pengawasan, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa.

Menurut dia, keterbukaan informasi publik merupakan ukuran bagi Bawaslu dalam memberikan informasi kepada masyarakat sebagai lembaga yang informatif atau lembaga yang tidak informatif.