JAKARTA - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menggelar sidang perdana perkara dugaan tindak pidana penggelapan dalam jabatan di Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) pada Selasa (15/11).
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Djuyamto mengatakan pimpinan pengadilan telah menunjuk majelis hakim yang menyidangkan dan memutuskan perkara tersebut.
“Sidang perdana Selasa tanggal 15 November,” kata Djuyamto dilansir ANTARA, Senin, 14 November.
Majelis hakim yang ditunjuk dalam persidangan tersebut yakni, Haryadi selaku hakim ketua, dan Mardison serta Hendra Yuristiawan masing-masing sebagai anggota majelis.
“Sidang pertama agendanya pembacaan surat dakwaan,” kata Djuyamto.
Terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kajari) Jaksel Syarief Sulaiman Nahdi mengatakan pihaknya telah melimpahkan berkas ketiga terdakwa ACT ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pekan lalu.
Untuk menghadapi persidangan besok, Kejari Jakarta Selatan juga telah menunjuk jaksa penuntut umum yang bakal mengawal persidangan.
“Untuk jumlah JPU nya nanti saya cek,” kata Syarief.
Sementara itu, dalam perkara ini ditetapkan empat orang tersangka, namun baru tiga yang telah dilimpahkan tahap II dan segera disidangkan.
Untuk satu tersangka atas nama Novariyadi Imam Akbari, selaku Ketua Dewan Pembina ACT masih menunggu berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21)oleh kejaksaan.
“Satu tersangka menunggu P-21,” kata Kasubdit IV Dittipideksus Bareskrim Polri Kombes Pol. Andri Sudarmaji.
BACA JUGA:
Kasus ini berawal adanya kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 tanggal 18 Oktober 2018 yang diproduksi oleh Boeing. Lantas pihak Boeing memberikan dana BCIF kepada ahli waris korban kecelakaan pesawat, namun dana tidak dapat diterima secara tunai akan tetapi diberikan dalam bentuk pembangunan atau proyek sarana pendidikan atau kesehatan.
Pihak Boeing meminta ahli waris menunjuk lembaga atau yayasan bertaraf internasional untuk menyalurkan dana BCIF tersebut, masing-masing ahli waris mendapat dana sebesar 144.550 US Dollar atau senilai Rp2,066 miliar dari Boeing. Atas rekomendasi 69 ahli waris melalui seleksi, pada tanggal 28 Januari 2021, ACT menerima pengiriman dana dari Boeing sebesar Rp138, 54 miliar.
Akan tetapi dari dana BCIF yang semestinya dipakai mengerjakan proyek yang telah direkomendasikan oleh ahli waris korban kecelakaan pesawat Boeing yang digunakan oleh maskapai penerbangan Lion Air tidak digunakan seluruhnya namun hanya sebagian dan dana tersebut dipakai untuk kepentingan yang bukan peruntukannya.
Pada pelaksanaannya penyaluran dana Boeing (BCIF) tersebut para ahli waris tidak diikutsertakan dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan proyek pembangunan dana Boeing (BCIF) dan pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap tidak memberitahukan kepada pihak ahli waris terhadap dana Boeing (BCIF) yang diterima dari pihak Boeing.
Diduga pengurus Yayasan ACT melakukan dugaan penggunaan dana tidak sesuai peruntukannya untuk kepentingan pribadi berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi, operasional perusahaan serta kegiatan lain di luar program Boeing.
Tersangka Ahyudin, Ibnu Khajar, Heriyana telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp117,98 miliar untuk kegiatan di luar implementasi Boeing adalah tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan Maskapai Lion Air pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari pihak Perusahaan Boeing sendiri.
Setelah pelimpahan, keempat berstatus terdakwa dijerat pasal berlapis yakni Pasal 372 KUHP dan Pasal 374 KUHP dan Pasal 45 a ayat (1) juncto Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Para terdakwa juga dijerat Pasal 170 juncto Pasal Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Pasal 3,4 dan 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencucian Uang, dan Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.