JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai arus informasi kasus penembakan enam orang laskar pengikut Rizieq Shihab masih belum satu arah. Informasi masih didominasi salah satu pihak.
Bahkan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, menyebut polisi memonopoli informasi kasus ini karena menduga ada kesewenang-wenangan dalam penggunaan senjata api. Ini karena minimnya informasi terkait kronologi lengkap atas peristiwa penembakan tersebut.
"Dalam konteks kematian 6 orang yang sedang mendampingi Rizieq Shihab, anggota kepolisian sewenang-wenang dalam penggunaan senjata api karena tidak diiringi dengan membuka akses seterang-terangnya dengan memonopoli informasi penyebab peristiwa tersebut," kata Fatia dalam keterangan tertulis, Selasa, 8 Desember.
BACA JUGA:
Terlebih, keterangan kepolisian berbeda dengan pihak Front Pembela Islam (FPI). Polisi menyebut penembakan ditengarai karena laskar tersebut disebut memiliki senjata api dan senjata tajam. Namun, FPI membantah jajarannya memiliki persenjataan.
Hal ini, kata Fatia, menunjukkan bahwa masih banyak anggota Polri melanggar prinsip nesesitas dan proporsionalitas yang tercantum dalam Pasal 3 Perkap Nomor 1 Tahun 2009 maupun Pasal 48 Perkap Nomor 8 Tahun 2009.
Kesewenang-wenangan penggunaan senjata oleh anggota Polri juga telah mengabaikan hak masyarakat atas persamaan di hadapan hukum, sebagaimana Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999.
"Atas peristiwa kematian 6 orang tersebut, kami mengindikasikan adanya praktik extrajudicial killing atau unlawful killing dalam peristiwa tersebut," ungkap Fatia.
"Terlebih lagi, berdasarkan UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Official, penggunaan senjata api hanya diperbolehkan untuk tujuan melumpuhkan bukan membunuh," lanjut dia.
Oleh sebab itu, Fatia menyebut bahwa KontraS mendesak Kapolri Jenderal Idham Aziz untuk untuk melakukan proses hukum secara terbuka dan adil terhadap anggota kepolisian yang terbukti melakukan penembakan terhadap para korban.
"Kapolri juga harus memastikan bahwa tidak ada upaya tekanan dan ancaman baik secara fisik maupun psikis terhadap korban yang bertujuan untuk menghentikan proses hukum dan akuntabilitas internal Polri," pungkasnya.