Cemaran EG dan DEG di Sirop Tak Pernah Diawasi, Menkes Perintahkan BPOM Uji Komponen Pembuatan Sejumlah Obat
Ilustrasi senyawa dalam kandungan obat. ( Pexels-Max Mishin)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengadakan tes kualitas produksi berbagai jenis obat guna mencegah terjadinya gagal ginjal pada anak lebih meluas.

“Kita sudah koordinasi dengan BPOM untuk setiap batch produksi itu, kalau bisa dites quality control nya karena wewenangnya kan adanya di sana,” kata Budi saat ditemui usai acara 'Gerakan Nasional Aksi Bergizi 2022' yang diikuti di Jakarta, Rabu 26 Oktober.

Budi menekankan, pemeriksaan kualitas itu sangat diperlukan sebagai suatu upaya baik untuk menyelamatkan nyawa anak-anak bangsa yang saat ini sedang berada dalam bahaya karena adanya gagal ginjal akut dan berbagai jenis virus.

Pemeriksaan kualitas produk itu, kata dia, juga dapat memperkuat pemantauan jenis obat-obat berbahaya, di saat Kementerian Kesehatan mengusahakan pengadaan obat bagi pasien gagal ginjal jantung dalam jumlah yang banyak.

Ilustrasi. Kasus penyakit gagal ginjal akut misterius pada anak. (Unsplash-Robina Weermeijer)

Budi menuturkan, saat ini, pemerintah sedang berusaha mendatangkan lebih banyak obat Fomepizole. Di mana pemerintah sedang melangsungkan tahap finalisasi pembelian obat penawar gagal ginjal yang berasal dari Amerika dan Jepang.

“Saya juga kemarin saat datang ke Singapura kita minta lagi, sudah diberikan 10 vial. Australia sudah datang 16 vial. Kalau sekarang, kita sedang finalisasi beli dari Amerika dan Jepang,” ujarnya.

Setelah diberikan obat, lanjut dia, pasien dengan gagal ginjal akut seperti di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta mengalami perbaikan kondisi. Artinya, obat tersebut efektif untuk mengurangi keparahan.

“Kita coba di RSCM dari 10 bayi balita yang kena serangan ginjal, yang data kita 57 persen meninggal itu tujuh sudah sembuh. Tiga bayi yang biasanya kondisinya menurun, itu jadi stabil. Oleh karena itu, kita lihat bahwa efikasinya, ketangguhannya itu bagus,” kata Budi.

Kemudian, jumlah kasus yang ditemukan juga mulai turun drastis karena adanya kebijakan pemberhentian sementara penjualan obat dalam bentuk cair atau sirop.

"Kita lihat setelah kita berhentikan penjualan obat sirop di apotek itu, dilaporkannya dua kasus, yang biasa tadinya 30-40, sekarang turun drastis, dua tiga hari jadi ketemu tiga kasus," ujarnya.

Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril menyebutkan perkembangan kasus gangguan ginjal akut per 24 Oktober 2022 sudah ada sebanyak 255 kasus yang berasal dari 26 provinsi.

Di mana sebanyak 143 pasien dilaporkan meninggal dunia atau setara 56 persen dari total kasus.

Berdasarkan hasil penyelidikan bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kasus gangguan ginjal akut di Indonesia menjurus pada penyebab keracunan obat sirop.

Lonjakan kasus gangguan ginjal akut terjadi karena adanya cemaran kimia pada obat tertentu yang sebagian sudah teridentifikasi, di antaranya etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butil eter (EGBE).

Atas dasar itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk menyetop penggunaan, peredaran, hingga pemberian resep obat sirop kepada masyarakat per 18 Oktober 2022.

"Kebijakan itu untuk sementara berhasil mencegah penambahan kasus baru di RSCM sebagai rujukan nasional ginjal," katanya.

Dalam kesempatan terpisah, BPOM mengakui selama ini tidak melakukan pemeriksaan berkala terhadap cemaran kimia etilen glikol (EG)dan dietilen glikol (DEG) pada tes kualitas produksi obat. Hal itu karena standar uji internasionalnya belum ada.

"EG dan DEG ini belum ada standar untuk kami menjadikan referensi dalam pengawasan, baik premarket maupun postmarket,” ujar Kepala BPOM, Penny K Lukito di Istana Kepresidenan Jakarta, dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa 25 Oktober.