Semua Pihak Harus Paham, Cuma Jokowi yang Punyak Hak Usir atau Pertahankan Parpol
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto

Bagikan:

JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menyayangkan pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang seakan menyindir Partai NasDem soal 'biru' lepas dari pemerintahan karena mendukung Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Menurut Jamiluddin, sindiran Hasto ke NasDem seharusnya tidak perlu terjadi. Sebab, kata dia, masing-masing partai independen dalam menentukan capres yang akan diusungnya.

"Wajar saja kalau NasDem bereaksi atas sindiran Hasto tersebut. Sebab, Hasto tampaknya tidak bisa membedakan NasDem dalam koalisi mengusung Joko Widodo pada tahun 2019 dan NasDem akan mengusung Anies Baswedan pada Pilpres 2024," ujar Jamiluddin saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 11 Oktober.

Apalagi, lanjut Jamiluddin, Ketua Umum NasDem Surya Paloh sudah bertemu Jokowi sebelum mendeklarasikan Anies sebagai bakal calon presiden. Bahkan menurut Surya Paloh, respon Jokowi cukup baik.

"Jadi, NasDem melalui Surya sudah permisi kepada Jokowi terkait pencapresan Anies. Karena itu, tidak ada etika politik yang dilanggar NasDem, termasuk keberadaannya di koalisi partai pendukung Jokowi," jelasnya.

Lagi pula, menurut Jamiluddin, NasDem sudah menyatakan tetap berkomitmen mendukung pemerintahan Jokowi hingga tahun 2024. Ini artinya, NasDem tidak akan meninggalkan Jokowi dari koalisi yang sudah disepakati.

"Karena itu, tentu aneh kalau Hasto yang justru kebakaran jenggot terhadap NasDem. Padahal, posisi NasDem dan PDIP di koalisi setara. Apalagi Jokowi sendiri tidak bereaksi apa-apa," katanya.

"Jadi, Hasto tidak berhak menyindir apalagi menganggap NasDem sudah tak layak ada di koalisi. Hanya Jokowi yang seharusnya berhak menyatakan partai mana yang masih berhak dan tidak berhak di koalisi pemerintahannya," sambung Jamiluddin.

Jamiluddin menilai, perseteruan PDIP dan NasDem nampaknya merupakan percikan ketidakcocokan antara Megawati Soekarnoputri dengan Surya. Meskipun memang, kata dia, tidak jelas pemantik ketidakcocokan kedua ketua umum partai politik tersebut.

Namun, ketidakcocokan itu terlihat ketika di suatu pertemuan, Surya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan tapi tidak disambut Megawati. Sejak itu, hubungan Surya dengan Megawati memang terlihat dingin.

"Karena itu, Hasto seharusnya lebih bijak dengan tidak memperuncing ketidakcocokan kedua ketua umum partai. Hasto juga tidak masuk ke ranah koalisi, yang memang tidak ada haknya untuk itu," ungkapnya.

Jika Hasto lebih proporsional dan profesional, tambah Jamiluddin, seharusnya ketegangan PDIP dan NasDem tak perlu terjadi.

"Hasto sudah harus tahu diri bahwa semua partai independen dalam menentukan capres dan berkoalisi. Ia tak boleh nyinyir, apalagi berupaya mendikte partai lain. Cara itu hanya akan merugikan dirinya, termasuk partainya," pungkasnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengungkap tentang warna "biru" pada bendera Belanda yang dirobek pejuang pada masa lalu.

Dia lantas menyinggung ada bendera biru lainnya yang kini mendukung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai presiden. Diduga, Hasto menyindir NasDem sebab saat ini yang berada di pemerintahan adalah partai besutan Surya Paloh itu, bukan Demokrat.

"Biru itu dulu warna Belanda. Kalau sekarang kan ada warna biru lainnya juga ya. Anies kan banyak warna biru," ujar Hasto dalam perayaan HUT TNI Tahun 2022 di Kantor DPP PDI-P, Jakarta Pusat, Minggu, 9 Oktober.

Hasto pun menyebut bahwa bendera 'biru' itu kini juga terlepas dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena sudah mencalonkan orang lain.

"Para pejuang kita kan ada bendera Belanda, birunya dilepas. Dan ternyata birunya juga terlepas kan dari pemerintahan Pak Jokowi sekarang, karena punya calon presiden sendiri," kata Hasto.