Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan Indonesia akan menghadapi ancaman kepunahan bahasa daerah. Ancaman itu berdasarkan hasil kajian pada 2021.

Kajian yang dilakukan Kemendikbudristek itu menyebutkan jumlah bahasa daerah yang rentan bertambah empat bahasa, mengalami kemunduran bertambah 14 bahasa, dan terancam punah bertambah tiga bahasa.

“Artinya bahwa kita akan mendapatkan ancaman kepunahan bahasa daerah kita itu sangat besar. Oleh karena itu, kita perlu melakukan upaya,” kata Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek E. Aminudin Aziz dalam webinar 'Menjaga Bahasa Memuliakan Bangsa' secara virtual, Selasa 4 Oktober.

Ia menjelaskan, sebelumnya pihaknya telah melakukan kajian pada 2019 yang menemukan terdapat 11 bahasa daerah yang punah. Pada kajian tahun 2019 itu pula disebutkan terdapat 27 bahasa daerah yang rentan, 29 bahasa daerah yang mengalami kemunduran, dan 26 bahasa daerah terancam punah.

Sementara itu, bahasa daerah yang dikategorikan masih aman atau masih dipakai oleh semua orang dalam etnik berjumlah 18 bahasa serta yang mengalami kondisi kritis atau dituturkan hanya kelompok masyarakat berusia 40 tahun ke atas sebanyak delapan bahasa.

“Kepunahan ini terjadi terutama karena penutur bahasa tidak lagi menggunakan atau mewariskan bahasa tersebut ke generasi berikutnya,” kata Aminudin disitat Antara.

Menurut Data Pokok Kebahasaan dan Kesastraan, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah yang teridentifikasi. Aminudin mengatakan wilayah Barat memiliki jumlah bahasa daerah yang sedikit, namun penduduknya banyak. Sementara wilayah Timur mempunyai jumlah bahasa daerah yang banyak akan tetapi jumlah penduduknya sedikit.

“Ini berbanding terbalik dan ini tentu saja akan menjadikan upaya untuk melestarikan bahasa-bahasa dan sastra daerah ini menjadi berat kalau melihat fakta seperti ini,” katanya.

Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Ganjar Harimansyah menambahkan, sejumlah bahasa atau sastra terancam punah atau mengalami kemunduran menandakan terjadinya gangguan dalam pewarisan, terutama generasi muda yang enggan lagi menggunakan bahasa tersebut.

“Oleh karena itu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melakukan upaya agar eksistensi bahasa dan sastra itu tetap ada dengan melakukan revitalisasi bahasa daerah yang pada tahun ini dilakukan di 12 provinsi,” kata Ganjar.

Adapun revitalisasi bahasa terbagi menjadi tiga model, yaitu model A, B, dan C. Ia menjelaskan model A lebih cenderung kepada bahasa daerah yang memang sudah masuk dalam kurikulum sekolah atau revitalisasi berbasis sekolah.

Berbeda dengan revitalisasi model A, pada model B dan C mengadaptasi basis komunitas atau campuran, seperti komunitas dan sekolah atau komunitas dan kelompok tertentu seperti gereja, masjid, dan sebagainya.

“Untuk terutama di kalangan penutur generasi muda, baik penutur sastra lisan maupun bahasanya, kami melakukan revitalisasi dengan berbagai pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah,” katanya.

Ganjar juga mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan telah mengamanatkan revitalisasi bahasa dan sastra daerah merupakan wewenang pemerintah daerah, sedangkan Badan Bahasa sebagai refleksi dari pemerintah pusat melakukan koordinasi, fasilitasi, serta mendorong untuk ikut serta dalam melestarikan bahasa dan sastra daerah sehingga eksistensinya tetap terjaga.