Membaca dengan Jernih Alasan Kementerian LHK Punya Sikap Tegas ke Peneliti Asing
Photo by John Schnobrich on Unsplash

Bagikan:

JAKARTA - Guru Besar perlindungan hutan IPB, Prof. Bambang Hero Saharjo, menanggapi surat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang melarang peneliti asing Eric Meijaard dkk masuk ke dalam kawasan konservasi di Indonesia. Katanya, setiap penelitian hasilnya sangat site spesifik dan tidak bisa digeneralisir.

Para peneliti wajib hadir, karena data dan kondisinya harus berdasarkan kondisi setempat yang wajib diketahuinya. Termasuk penggunaan citra satelit sekalipun, jadi tidak hanya sekedar meramalkan melalui pemodelan tanpa melakukan verifikasi kemudian mengklaim apa yang dilakukannya sudah benar.

Bila tidak, maka hasil penelitian itu hanya merupakan pengandaian belaka berbungkus penelitian ilmiah yang tidak dijamin kebenarannya dan cenderung bias, sehingga tidak bisa dijadikan rujukan.

Riset ilmiah yang dilakukan peneliti asing tentang keanekaragaman hayati (biodiversity) Indonesia misalnya, terkadang tidak sedikit menyimpan misi tersembunyi yang patut diwaspadai karena tidak mewakili kondisi yang sebenarnya. Namun demikian, pemerintah bertindak represif terhadap peneliti asing juga tidak bisa dibenarkan tanpa ada alasan mendasar.

''Tentu ada alasan mendasar Menteri LHK Siti Nurbaya mengambil tindakan tegas tersebut, tidak mungkin tidak ada kronologinya dan ini harus dibuka ke publik. Jika ternyata alasan itu untuk membela kedaulatan NKRI, saya kira publik dalam negeri bisa saja lebih marah pada si peneliti asing itu melebihi kemarahan Menteri,'' kata Bambang, Sabtu 24 September.

Akademisi penerima penghargaan bergengsi John Maddox 2019 ini mengatakan, kasus Meijaard dkk hampir sama dengan kasus peneliti asing yang sempat heboh beberapa waktu lalu terkait luasan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Mereka sama-sama menggunakan data sekunder bukan data primer lapangan, dan metodologinya pemodelan. Meski secara ilmiah pemodelan dibenarkan, namun mengabaikan data dan fakta lapangan juga kesalahan fatal dalam suatu karya ilmiah.

Salah satu poin penting yang kadang dilupakan baik sengaja maupun karena lalai, adalah validasi terhadap data hasil perhitungan yang mereka peroleh dengan kondisi sesungguhnya di lapangan.

Mereka tidak bisa melakukan itu karena tidak punya akses, perlu waktu dan biaya yang tidak sedikit, sementara mereka tidak punya izin, akhirnya bagian yang penting ini mereka tinggalkan.

Akhirnya hasil penelitian tersebut sering terbit tanpa validasi. Ini pernah dijelaskan Bambang kepada salah satu media asing yang mempertanyakan pemerintah RI melalui KLHK tidak menerima hasil penelitian yang dilakukannya.

''Si peneliti asing itu ternyata tidak meneliti langsung di Indonesia dan mengabaikan kondisi data riil di lapangan, jelas salah dan parah. Riset seperti ini bisa dirontokkan kapan saja dan tidak perlu dijadikan sebagai reference, bahkan bisa diprotes kepada pihak jurnalnya karena tidak merepresentisakan maksud dan tujuan diterbitkannya jurnal tersebut, terlebih lagi bagi jurnal internasional. Saya pernah beberapa kali melihat tulisan seperti ini terbit, ada pula ketika saya diminta untuk melakukan review atas draft tulisan tersebut, maka saya minta untuk melakukan revisi karena informasinya tidak benar, bila tidak maka akan berbahaya untuk Indonesia,'' beber Bambang.

Mustinya para peneliti asing yang menulis tentang kondisi orangutan tersebut, tahu di Indonesia juga terdapat banyak para pemerhati yang peduli terhadap satwa ini.

Bahkan ada Lembaga Non Pemerintah yang mendapat bantuan luar negeri khusus mengawal dan memastikan bahwa orangutan memang benar-benar diperhatikan. Apa yang mereka ungkap tentu saja telah melangkahi aktivitas teman-teman peduli orangutan tersebut dan seperti meniadakan peran mereka karena telah meniadakan peran mereka yang hadir langsung dan bersinggungan di tengah-tengah habitat orangutan.

Indonesia hingga saat ini masih menjadi negara pemilik keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia, sehingga tidak heran bila negara ini menjadi incaran para peneliti asing yang ingin mendapat tempat melakukan kajian dan penelitian langsung di Indonesia.

''Mungkin mereka ini ingin mencari perhatian dari pemerintah, harapannya dengan pro kontra tersebut bisa dirangkul dan mendapat karpet merah untuk meneliti langsung di Indonesia. Tentu hal ini tidak baik juga, karena semua peneliti wajib memahami dan menghormati kedaulatan tiap negara,'' kata Bambang.

Bambang sendiri meyakini bahwa ada alasan kuat dibalik sikap Menteri LHK Siti Nurbaya mengeluarkan surat ke Meijaard dkk. Stigma anti kritik, anti sains dan otoriter menurut Bambang kurang tepat, tanpa publik tahu lebih dulu hal yang melatarbelakangi keluarnya surat tersebut.

''Saya sendiri sering memberi masukan dan kritikan pada pemerintah, langsung kepada Menteri Siti. Seringnya melalui WA dan beliau pasti membalas, memperhatikan, bahkan mendukung bilamana ada riset kami yang berguna untuk membenahi perlindungan hutan Indonesia, misalnya tentang karhutla. Kebijakan lingkungan sekarang dibuat banyak berdasarkan kajian peneliti dalam negeri dan bukan peneliti asing. Jadi pasti ada alasan krusial dibalik sikap tegas Menteri Siti dan ini yang menjadi PR KLHK untuk menjelaskan kronologisnya ke publik,'' jelas Bambang.

Bambang sendiri menjadi sedikit dari akademisi Indonesia yang lantang menyuarakan perlawanan pada pembakar lahan, khususnya dari korporasi. Berkat kesaksian Bambang di pengadilan, banyak konsesi besar dinyatakan bersalah telah merusak lingkungan dan harus memberi kompensasi pada kesehatan masyarakat.

Sementara itu terkait opini yang ditulis Meijaard di salah satu media, pihak KLHK ternyata sudah memberikan respon hak jawab dengan mengungkapkan bahwa saat melakukan risetnya terkait Orang Utan, Meijaard tidak sedang berada di Indonesia, dan seluruh peneliti dalam artikel tersebut juga merupakan orang asing serta tidak melibatkan peneliti dalam negeri sesuai UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas) UU nomor 11 tahun 2019.

Meijaard diketahui hanya menggunakan metodologi pemodelan kelangsungan hidup populasi dengan menggunakan asumsi, dan menggunakan interpolasi riwayat data informasi yang telah lalu. Para peneliti asing ini juga mengabaikan pola asumsi dengan kebijakan pemerintah menghentikan ijin hutan primer dan berbagai kebijakan perlindungan satwa liar lainnya.

Meijaard berasumsi akan terjadi penurunan populasi Orang Utan di Indonesia. Yang lebih sadis, mengarah pada kepunahan. Padahal di tahun 2022 masih terjadi kelahiran dua ekor orang utan di Indonesia.

Dengan berbagai koreksi kebijakan, populasi Orang Utan di Indonesia sendiri telah mengalami peningkatan signifikan dari 1.441 individu di 2014 menjadi 2.431 individu di 2022. Data-data primer seperti ini telah diabaikan Meijaard dkk.