Waspada Fenomena 'Tsunami Fire' Saat Gempa Megathrust di Selatan Jawa Terjadi
Foto tangkapan layar YouTube BNPB Indonesia/VOI-Diah Ayu

Bagikan:

JAKARTA - Plt. Kapusdatinkom Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari menyoroti salah satu hal yang memperburuk kondisi bencana saat gempa bumi degan kekuatan besar di selatan Pulau Jawa atau gempa megathrust dan tsunami terjadi.

Hal itu adalah keberadaan kilang minyak milik Pertamina di Cilacap. Menurut, Abdul Muhari, kilang minyak ini perlu dikendalikan saat gempa megathrust terjadi karena berpotensi terbakar.

"Di Cilacap. ada potensi bahaya lain yang kita harus perhatikan. Karena di Cilacap ini ada tempat penyimpanan minyak, tidak hanya satu tapi ada beberapa oil tank atau tempat penyimpanan bahan bakar minyak," kata Abdul Muhari dalam diskusi virtual, Senin, 8 Agustus.

Abdul Muhari mencontohkan kejadian serupa yang pernah terjadi di Jepang. Saat gempa berkekuatan 8,9 SR yang mengguncang Jepang dan disusul tsunami pada 2011 lalu, muncul fenomena "tsunami fire".

Saat itu, gempa dan tsunami meluluhlantakkan kota termasuk salah satu kawasan penyulingan minyak. Di waktu bersamaan, tiang listrik terkelupas dan memercikkan api. Kobaran api pun tak terhindarkan akibat percikan api menyambar tumpahan minyak tersebut.

"Waktu tahun 2011, ada tiga kota di Jepang yang sekotanya itu terendam tsunami, tapi bangunannya habis terbakar. Ini adalah fenomena baru dan masih menjadi tantangan kita semua untuk bisa mencari solusi mitigasi yang tepatnya," urai Abdul Muhari.

"Ini yang perlu kita amankan, bagaimana kita bisa mengamankan SPBU-SPBU, penampungan bahan bakar minyak, dan lain-lain supaya tidak terjadi yang kita sebut dengan 'tsunami fire' ini," lanjutnya.

Lebih lanjut, Abdul Muhari menyebut ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi dampak bencana jika gempa megathrust yang disusul tsunami di selatan Jawa terjadi.

Salah satunya diterapkan di Jepang, tepatnya kawasan pesisir yang berada di dekat Bandara Sendai. Jepang memanfaatkan vegetasi berupa hutan pantai untuk mengurangi potensi dampak tsunami Jepang yang terjadi pada 2011 lalu.

"Memang hutan pantainya hancur saat tsunami terjadi. Tapi, ini bisa melindungi bagian ke arah daratnya, sehingga Bndara Sendai ini pun tidak terlalu terdampak. Meskipun banyak debris yang terbawa ke sana, tapi debris itu bisa dibersihkan dan Bandara Sendai bisa beroperasi hanya dalam kurun 6 hari pasca bencana, karena tidak mengalami kerusakan yang berarti," imbuhnya.