Bagikan:

JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mempelajari laporan dugaan pelanggaran kode etik terhadap Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan Karyoto, dalam kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Komaruddin.

"Sudah diterima dan laporannya sedang dipelajari," kata anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho kepada VOI, Senin, 9 November.

Hanya saja, dia tak menyebut sudah sejauh mana Dewan Pengawas KPK telah mempelajari dugaan pelanggaran yang dilaporkan oleh Indonesia Corruption watch (ICW) itu. 

Dia menyebut, setelah rampung dipelajari, dewan pengawas akan memberitahukan kepada publik.

"Kalau sudah selesai kan nanti juga tahu," tegasnya.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan dugaan pelanggaran etik ini ke KPK. Berdasarkan formulir tanda terima surat dan dokumen yang disampaikan oleh peneliti ICW Kurnia Ramadhana, berkas telah diterima oleh pihak KPK pada Senin, 26 Oktober lalu.

Kurnia memaparkan, pelaporan terhadap Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto ini dilakukan karena keduanya diduga melanggar kode etik dalam proses OTT UNJ beberapa waktu lalu.

Laporan ini dibuat setelah Plt Direktur Pengaduan Masyarakat Aprizal dinyatakan melanggar kode etik oleh Dewan Pengawas KPK beberapa waktu yang lalu terkait dengan operasi tangkap tangan (OTT) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

"Berdasarkan petikan putusan APZ (Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal), diduga terdapat beberapa pelanggaran serius yang dilakukan keduanya," kata Kurnia dalam pernyataannya.

Katanya, ada 4 dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli dan Karyoto. Pertama, dugaan ini muncul karena Firli berkukuh mengambil alih penanganan kasus yang sedang ditangani Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK sudah menjelaskan, setelah timnya melakukan pendampingan ternyata tak ditemukan adanya unsur penyelenggara negara dalam kasus tersebut. 

Sehingga, berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) huruf a UU KPK, lembaga antirasuah itu tak berhak untuk menindaklanjutinya.

Kedua, Kurnia menyebut, Firli telah membuat kesimpulan sendiri bahwa ditemukan unsur tindak pidana dalam pendampingan yang diberikan. Padahal, diduga mantan Deputi Penindakan KPK itu tak tahu peristiwa yang sebenarnya.  Sehingga, lanjutnya, menjadi janggal ketika Firli langsung begitu saja menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan dapat ditangani KPK.

Ketiga, kata Kurnia, tindakan Firli dan Karyoto yang menerbitkan surat perintah penyidikan dan pelimpaan perkara ke pihak kepolisian, diduga tak lebih dahulu menggunakan mekanisme gelar perkara di internal KPK. Padahal, berdasarkan aturan internal, untuk mengeluarkan surat perintah penyidikan dan pelimpahan, harus didahului gelar perkara yang diikuti oleh petinggi di kedeputian penindakan bersama pimpinan KPK lainnya.

Keempat, Kurnia menyebut, tindakan yang dilakukan Firli yaitu mengambil alih penanganan Inspektorat Jenderal Kemendikbud adalah atas inisiatifnya sendiri tanpa melibatkan pihak lain ataupun mendengar masukan dari pimpinan yang lainnya. Tindakan Firli tersebut telah dianggap bertentangan dengan Pasal 21 UU KPK yang menyebut pimpinan KPK harus bersifat kolektif kolegial.

Maka berdasarkan penjalasan dugaan tersebut, ICW menduga tindakan Firli dan Karyoto telah melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 5 ayat (2) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.