MATARAM - Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Nusa Tenggara Barat I Gede Putu Aryadi mengatakan pihaknya memastikan akan tetap mengawal kasus tenggelamnya kapal yang mengangkut pekerja migran Indonesia (PMI) di perairan Batam.
"Terkait kasus kecelakaan speed boat di Batam masih terus dipantau. Bahkan untuk mendapatkan informasi terkini, kami memiliki jaringan komunitas masyarakat Sasak yang ada di Batam," ujarnya, pada rapat kerja bersama Komisi V DPRD NTB dengan Disnakertrans, BP2MI, asosiasi tenaga kerja di NTB, APJATI dan APPMI dalam rangka membahas masalah PMI di ruang rapat Komisi V DPRD Provinsi NTB di Mataram dilansir Antara, Selasa, 28 Juni.
Menurut informasi ada 30 warga NTB yang menjadi korban kecelakaan speed boat, padahal kapasitas kapal hanya untuk 15 orang.
"Mereka berangkat ke Batam seperti warga yang ingin jalan-jalan. Jadi, tidak dilengkapi dokumen. Salah satu pelaku, termasuk menjadi korban hilang pada kecelakaan speed boat ini," ucap Gede Aryadi.
Gede Aryadi mengatakan kasus ini awalnya ditangani oleh aparat TNI Kepri, namun kemudian diserahkan ke selter BP2MI di Kepri. Dari 23 orang selamat, 21 orang dalam keadaan sehat dan dua orang butuh perawatan.
"Kasus ini ditangani Polda Kepri dan datanya di-backup oleh Polda NTB dan siap memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Polda Kepri. Proses pemulangan baru bisa dilaksanakan setelah ada titik terang dalam proses hukum," ucapnya.
Berdasarkan pengamatan, katanya, tingginya kasus PMI yang tidak prosedural akhir-akhir ini karena sejak Tahun 2020 atau sejak pandemi COVID-19 melanda, penempatan negara Malaysia ditutup. Bahkan pada 2021 Malaysia memulangkan ribuan PMI asal NTB.
Selain itu, menurut Gede Aryadi, perbedaan peraturan di sejumlah negara penempatan memiliki pengaruh pada tingginya kasus penempatan unprosedural. Adanya kebijakan konversi visa yang berlaku di beberapa negara penempatan inilah yang dimanfaatkan oleh calo/tekong.
"Biasanya PMI yang tidak prosedural berangkat dengan menggunakan visa kunjungan, visa umrah atau visa suaka kemudian setibanya di negara penempatan, dengan adanya kebijakan konversi visa, mereka mendapatkan visa kerja dan izin tinggal, sehingga menjadi legal menurut aturan di negara tersebut. Namun tidak mendapatkan perlindungan yang memadai, bahkan PMI tidak mengetahui isi perjanjian kerjanya, karena semuanya diurus oleh mafia TPPO," katanya.
CPMI yang berangkat secara non-prosedural dengan menggunakan visa kunjungan, menurut dia, tidak membutuhkan rekomendasi desa, disnakertrans, apalagi layanan di LTSA. Mereka cukup mengurus paspor kunjungan di Imigrasi.
"Kementerian Luar Negeri sudah mengimbau negara penempatan terkait masih adanya kebijakan konversi visa ini. Namun faktanya kita tidak bisa mengintervensi kebijakan negara lain," ujarnya.
Ia mengatakan, jika merunut ke desa, biasanya kepala desa tidak mengetahui warganya menjadi PMI. Dalam laporannya, Gede mengungkapkan peran pemerintah kabupaten/kota sangat penting, terutama di desa dan dusun, dalam memberikan edukasi kepada warganya agar tidak berangkat lewat jalur tidak prosedural.
Karena itu, Pemprov NTB mengapresiasi Kabupaten Lombok Timur yang sudah membentuk tim terdiri dari P3MI dan asosiasi dalam menyosialisasikan peluang kerja di luar negeri.
"Saya lihat di Lombok Timur sudah mulai tertib. Harapan ke depannya kami didukung penambahan pejabat pengantar kerja di kabupaten/kota, karena informasi kesempatan kerja luar negeri harus disampaikan oleh pejabat yang tepat dan kompeten," ujar mantan Kadis Kominfotik NTB ini.
Sementara itu, Kepala BP2MI NTB Abri Danar Prabawa mengungkapkan dari Tahun 2007 sampai Februari 2022 ada 535.000 PMI NTB yang bekerja di luar negeri.
Jika dijabarkan per-kabupaten, posisi pertama ditempati Lombok Timur dengan jumlah PMI 235 ribu. Disusul Lombok Tengah kurang lebih 146 ribu. Dari 108 negara penempatan, paling besar ada di Malaysia sekitar 77 persen, kemudian diikuti Saudi Arabia, Hong Kong, Taiwan, Brunei Darussalam, dan diikuti oleh Uni Emirat Arab.
"Potret pekerja migran NTB yang penempatannya di Malaysia memang paling banyak bekerja sebagai pekerja ladang dengan jumlah 41 ribu. Lalu pekerja bangunan ada 638 orang. Jumlah ini sangat timpang jika dibandingkan dengan yang bekerja di ladang. Kemudian disusul pekerja ART (housemaid). Dari ke tiga jabatan itu kita sepakat bahwa jabatan itu no-skill," kata Abri.
Ia menjelaskan Tahun 2021 PMI yang dipulangkan sebanyak 26.996, yang terbanyak dari Malaysia. Padahal sebelum pandemi, rata-rata setiap tahun ada sekitar 20 ribu PMI yang dikirim dengan hampir 90 persen penempatannya ke Malaysia. Hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya terjadi kecelakaan PMI akhir-akhir ini.
Abri menyampaikan dari data BP2MI pada 2021-2022 sudah terjadi empat kecelakaan PMI tidak prosedural dengan 100 persen kecelakaan kapal tujuannya ke Malaysia.
Kabar baiknya, menurut dia, pada semester 1 tahun ini, hasil pencegahan keberangkatan PMI ilegal yang dilakukan oleh BP2MI ada 187 orang dengan tujuan keberangkatan terbanyak ke Saudi Arabia, yang kebanyakan perempuan. Angka ini naik 100 persen dari tahun lalu yang berjumlah 68 orang. Sementara dari disnaker sendiri ada 54 orang yang sudah dicegah hingga saat ini. Asal CPMI yang paling banyak dari Lombok Tengah, Lombok Timur dan Sumbawa.
Penyebab kasus yang banyak terjadi adalah karena keberangkatan tidak prosedural. Hal ini menimbulkan banyak permasalahan lainnya, seperti di Timur Tengah seringkali terjadi permasalahan PMI tidak digaji, disiksa, atau diperlakukan tidak manusiawi. Kalau di kawasan Malaysia, penyebab kasus kebanyakan karena PMI overstay.
Selain itu ada juga permasalahan lain, yaitu ketika PMI mengalami masalah di negara penempatan, masalah belum selesai tapi PMI sudah dipulangkan. Padahal seharusnya permasalahannya diselesaikan dulu di negara tersebut karena pemerintah sudah menyediakan pembela hukum di sana.
"Seperti kasus terbaru PMI dari Sumbawa Barat, dia lapor ke suaminya dia mendapatkan penyiksaan dan tidak digaji, ketika akan kita telusuri, tiba-tiba dia sudah sampai di Jakarta. Sudah dipulangkan oleh majikannya. Ini mempersulit kita untuk mendapatkan hak-hak mereka," ujar Abri.
Karena itulah mengapa sektor domestik untuk rumah tangga ke Saudi Arabia dari 2015 sampai saat ini belum dibuka oleh pemerintah. Namun meski begitu tetap masih banyak warga NTB yang ingin berangkat ke Saudi sebagai ART.
Contoh kasus kemarin 24 orang CPMI ilegal yang dicegah adalah 100 persen warga NTB yang dijanjikan berangkat ke Saudi. Beberapa hari kemudian juga dilakukan pencegahan tujuh orang CPMI ilegal asal Bima yang akan diberangkatkan ke Saudi juga.
"Kenapa mereka ini tidak mau mengikuti jalur prosedur karena kebanyakan mereka ini tidak punya kompetensi. Rata-rata pendidikan mereka ini hanya lulusan SD. Padahal menjadi PMI prosedural sangat lah mudah, apalagi ke Malaysia. Baru-baru ini perusahaan Malaysia sudah berkunjung ke NTB mengungkapkan bahwa mereka butuh PMI kita," ungkap Abri.
Karena itu, Pemprov NTB melalui Disnakertrans Provinsi NTB dan BP2MI sudah melakukan koordinasi dengan BLK, agar CPMI ilegal yang dipulangkan kemarin diberikan pelatihan kompetensi agar siap dikirim sebagai PMI prosedural.
BACA JUGA:
Di UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI telah dibagi tugas dan peran masing-masing pemerintah dari pemerintah pusat hingga pemerintah desa. Karena itu semua pihak perlu melakukan upaya bersama agar perlindungan PMI maksimal.
Abri menjelaskan penempatan PMI terdiri dari tiga proses, masa pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan. Yang paling banyak terjadi masalah itu di proses pra penempatan. Karena di proses pra inilah, PMI banyak menghadapi bujuk rayu tekong, sehingga bisa terjadi pemalsuan dokumen dan pemberangkatan secara ilegal.
"Karena itu hal pertama yang harus dilakukan adalah memberantas sindikat, calo, mafia, tekong dan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab ini. Terkait sindikat calo ini kita harus bertindak tegas," katanya.
"Berbicara masalah PMI, seperti tidak pernah tuntas. Namun demikian, harus ditemukan solusi untuk menyelamatkan warga NTB yang pada dasarnya memiliki cita-cita luhur, yaitu menjadi PMI karena ingin memperbaiki perekonomian keluarga," kata Ketua Komisi V DPRD NTB, Lalu Hadrian Irfani.